Tragedi Trisakti 12 Mei 1998: Luka Sejarah yang Belum Terobati

12 Mei 1998 menjadi salah satu hari paling kelam dalam sejarah Indonesia. Hari di mana suara mahasiswa yang menuntut reformasi dibungkam dengan peluru. Hari di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembak dalam aksi damai yang seharusnya menjadi cerminan demokrasi.


Peristiwa ini bukan hanya soal penembakan mahasiswa, tetapi bagian dari gejolak besar yang mengguncang Indonesia kala itu—krisis ekonomi, ketidakadilan sosial, dan pemerintahan yang semakin kehilangan kepercayaan rakyat.


Latar Belakang: Indonesia di Ambang Krisis

Di awal 1990-an, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Namun, semua itu runtuh ketika krisis moneter Asia 1997 melanda. Nilai tukar rupiah terjun bebas dari Rp4.850 per dolar menjadi Rp17.000 per dolar, menyebabkan harga kebutuhan pokok melonjak dan masyarakat semakin tercekik.

Di sisi lain, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin merajalela. Pemerintahan Soeharto yang sudah berkuasa lebih dari 30 tahun tidak lagi mampu menangani krisis ini dengan efektif. Rakyat mulai geram, dan mahasiswa turun ke jalan menuntut perubahan.


Demonstrasi Mahasiswa dan Tuntutan Reformasi

Sejak awal 1998, demonstrasi terjadi di berbagai kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Medan. Para mahasiswa tidak hanya menuntut solusi atas krisis ekonomi, tetapi juga reformasi total—mulai dari penghapusan KKN hingga tuntutan agar Soeharto mundur dari jabatannya.

Puncaknya terjadi pada 12 Mei 1998. Ribuan mahasiswa Universitas Trisakti menggelar aksi damai yang berencana melakukan long march menuju Gedung MPR/DPR. Namun, mereka dihadang aparat keamanan dan terpaksa menggelar aksi di sekitar kampus.


Tragedi Berdarah di Trisakti

Pada sore hari, situasi mulai memanas. Gas air mata ditembakkan, mahasiswa berlarian kembali ke dalam kampus. Namun, tanpa peringatan, tembakan peluru tajam dilepaskan.

Empat mahasiswa gugur:

1. Elang Mulia Lesmana

2. Hafidin Royan

3. Heri Hertanto

4. Hendriawan Sie

Selain itu, lebih dari 600 orang mengalami luka-luka akibat tembakan dan pemukulan.


Dampak Tragedi: Jatuhnya Soeharto

Alih-alih membuat mahasiswa takut, Tragedi Trisakti justru memicu gelombang demonstrasi yang lebih besar. Pada 13-15 Mei 1998, kerusuhan pecah di berbagai wilayah Jakarta dan kota lainnya, termasuk penjarahan dan kekerasan terhadap etnis Tionghoa.

Puncaknya, pada 21 Mei 1998, Soeharto resmi mengundurkan diri setelah 32 tahun berkuasa.


Keadilan yang Tak Kunjung Datang

Meski Orde Baru runtuh, keadilan bagi korban Tragedi Trisakti masih menjadi tanda tanya. Hasil investigasi membuktikan bahwa empat mahasiswa tewas akibat tembakan peluru tajam, namun hingga kini dalang utama di balik tragedi ini belum tersentuh hukum.

Pengadilan militer memang menjatuhkan hukuman kepada beberapa aparat yang terlibat, tetapi mereka hanyalah pelaku lapangan. Sementara pihak yang memberi perintah masih bebas tanpa pertanggungjawaban.


Kesimpulan: Sebuah Luka yang Belum Sembuh

Tragedi Trisakti adalah bukti bahwa reformasi harus terus diperjuangkan. Demokrasi yang kita nikmati hari ini adalah hasil dari darah dan nyawa mereka yang berani melawan ketidakadilan.

Namun, tanpa penegakan hukum yang adil, sejarah ini akan tetap menjadi luka yang belum terobati. Keadilan bagi korban Trisakti bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang masa depan Indonesia yang lebih baik.

---

Apa pendapatmu tentang peristiwa ini? Apakah keadilan masih bisa ditegakkan? Tulis di kolom komentar dan mari berdiskusi.


Sumber:

YouTube: matahari pemuda - https://youtu.be/uFvK2vjNkrY?si=oURHmn88K6cubDyv