Di Manakah Keadilan Tuhan: Mencari Jawaban dalam Ketidakpastian
Seorang anak lahir di tengah reruntuhan perang, sementara di sudut lain dunia, koruptor tertawa bebas sembari menghisap darah rakyat. Pertanyaan yang kerap menggema dalam benak manusia: "Di manakah keadilan Tuhan?" Pertanyaan ini bukanlah sekadar ungkapan frustasi, melainkan pemberontakan akal yang membakar kitab-kitab suci—sebuah perlawanan jiwa yang menolak menerima takdir sebagai jawaban final.
Paradoks keadilan Tuhan telah menjadi pergumulan manusia sepanjang sejarah peradaban. Bagaimana kita memahami eksistensi penderitaan yang tidak proporsional dalam dunia yang konon diatur oleh Sang Maha Adil? Artikel ini akan menggali berbagai perspektif filosofis dan teologis dalam upaya memahami dilema keadilan Tuhan yang terus mengusik jiwa manusia.
Problem of Evil: Paradoks Tertua dalam Teologi
Trilema Epikurus
Sejak 2300 tahun lalu, filsuf Yunani Epikurus melontarkan pertanyaan yang hingga kini belum terjawab tuntas: "Jika Tuhan maha baik, mengapa kejahatan ada? Jika maha tahu, mengapa Dia diam? Jika maha kuasa, mengapa tak menghapus penderitaan?"
Trilema ini memposisikan kita dalam posisi sulit. Keberadaan penderitaan yang masif di dunia seolah kontradiktif dengan konsep Tuhan yang sempurna. David Hume mengubahnya menjadi argumen mematikan: Tuhan yang sempurna dan dunia yang penuh kejahatan adalah dua hal yang tak mungkin bersatu.
Kejahatan Moral vs. Kejahatan Natural
Filsafat membedakan kejahatan menjadi dua kategori:
- Kejahatan moral - buatan manusia seperti pembunuhan, perang, pengkhianatan
- Kejahatan natural - derita yang datang dari alam seperti gempa bumi, wabah penyakit, tsunami
Theodisi Agustinus menawarkan jawaban bahwa kejahatan moral lahir dari kebebasan manusia—Tuhan memberi kebebasan dan manusialah yang menyalahgunakannya. Namun bagaimana dengan kanker pada anak kecil? Agustinus menyalahkan "dosa asal" yang merusak alam, jawaban yang bagi banyak orang modern terasa tidak memuaskan.
Jawaban Agama: Antara Penghiburan dan Kebuntuan
Kisah Ayub: Test Case Keadilan Tuhan
Di padang pasir yang tandus, seorang pria bernama Ayub duduk di atas abu, tubuhnya berlubang borok, anak-anaknya mati, hartanya musnah. Ia berteriak pada langit, "Mengapa aku, Tuhan? Aku tak bersalah!"
Tuhan tidak menjawab dengan penjelasan. Sebaliknya, Ia mengguncang Ayub dengan pertanyaan: "Di manakah engkau ketika Aku meletakkan dasar bumi?" (Ayub 38:4-8). Ini bukan jawaban, melainkan pernyataan bahwa keadilan Tuhan melampaui logika manusia.
Perspektif Islam: Ujian dan Hikmah
Al-Qur'an menegaskan: "Apakah manusia mengira mereka akan dibiarkan mengatakan 'Kami beriman' tanpa diuji?" (Al-Ankabut 29:2). Setiap derita, kata para ulama, adalah ujian kesabaran—jalan menuju surga.
Imam Ibnu Qayyim menulis, "Ujian adalah bukti cinta Tuhan, seperti api yang memisahkan emas dari kotoran." Namun di sini letak paradoksnya: jika Tuhan Maha Tahu, bukankah Dia sudah tahu siapa yang lulus ujian tanpa perlu menyiksa mereka?
Karma dan Hukum Kosmis
Di kuil Hindu, seorang ibu menangis di depan patung Dewi Kali—bayinya lahir buta. Seorang pendeta berbisik, "Ini prarabda karma, hutang kehidupan lampau yang harus dibayar."
Namun dalam Bhagavad Gita, Krishna mengingatkan karma adalah hukum sebab-akibat, bukan hukuman. Buddha menolak fatalisme karma; penderitaan bisa dihentikan lewat Jalan Mulia Berunsur Delapan, bukan dengan pasrah pada takdir.
Pemberontakan Filosofis: Menggugat Langit
Nietzsche: Pembunuh Tuhan
Nietzsche si "pembunuh Tuhan" mencemooh: jika Tuhan ada, Dia tak layak disembah. Jika Dia Maha Tahu, Dia sadar akan penderitaan tak berdosa. Jika Maha Kuasa, Dia bisa menghentikannya. Jika Maha Baik, Dia pasti ingin menghentikannya. Tapi penderitaan itu tetap ada. Maka Tuhan tak ada, atau Dia adalah monster.
Albert Camus: Absurditas dan Pemberontakan
Albert Camus membantah absurditas bukanlah alasan untuk beriman—itu alasan untuk memberontak. Jika Tuhan ada, mengapa kita harus menjadi pahlawan bagi diri sendiri? Pemberontakan ini melahirkan makna dari kekosongan.
Teologi Proses: Tuhan yang Menderita
Alfred North Whitehead menggugat: Tuhan bukan dalang yang kejam, Ia adalah pihak yang ikut menderita. Dalam teologi proses, Tuhan tak Maha Kuasa secara absolut—Ia berjuang bersama kita, mengarahkan semesta dengan persuasi, bukan paksaan.
Eli Wiesel, korban selamat Auschwitz, menulis: "Tuhan di mana Dia? Di sana, digantung di tiang gantungan." Inilah paradoks: Tuhan yang rapuh justru lebih manusiawi, tapi manusia butuh lebih dari sekadar teman penderitaan—mereka butuh jawaban, mereka butuh keadilan.
Menjadi Tuhan Kecil: Keadilan di Tangan Manusia
Keadilan yang Lahir dari Tangan Manusia
Langit diam. Tuhan, jika Ia ada, tak turun tangan menghentikan peluru yang merenggut nyawa anak-anak di Sudan, tidak juga menghancurkan gudang senjata para diktator. Tapi di tengah keheningan ini, ada suara lain yang bergema: dentang palu hakim yang menghukum pemerkosa, riuh massa yang menuntut reformasi, desisan kompor ibu-ibu yang memberi makan tetangga kelaparan.
Di puing-puing teodisi, kita menemukan jawaban paling radikal: keadilan Tuhan tidak jatuh dari langit—ia lahir dari tangan manusia yang memilih untuk tidak diam.
Merajut Keadilan di Bumi
Martin Luther King Jr. berteriak: "Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang ditolak." Ia tak menunggu mukjizat; ia bergerak meski tahu peluru bisa mengakhiri nyawanya—dan memang demikian.
Paulo Freire, bapak pendidikan kaum tertindas, tidak berdoa untuk kesadaran; ia mengajar petani buta huruf membaca sambil mengangkat senjata melawan rezim. Inilah Teodisi Liberation Theology: Tuhan memihak kaum tertindas, bukan dengan mukjizat tapi dengan menginspirasi manusia memberontak.
Menemukan Makna dalam Penderitaan
Victor Frankl, selamat dari kamp konsentrasi, menulis: "Jika hidup punya tujuan, penderitaan pun punya makna." Ia tak bicara tentang makna ilahi—ini adalah makna manusiawi: keberanian untuk tetap mencintai di tengah kebencian, untuk membangun di atas reruntuhan.
Lihatlah Hibakusha, korban selamat Hiroshima yang mengkampanyekan perdamaian global. Lihatlah Paul Rusesabagina yang menyelamatkan 1.268 nyawa selama genosida Rwanda. Lihatlah Mothers of Plaza de Mayo yang menari dengan foto anak hilang di dada. Mereka tak menunggu keadilan Tuhan—mereka menciptakannya.
Kesimpulan: Paradoks yang Tak Terjawab
Kita telah menggugat langit, mengutuk teologi, dan meragukan kitab suci. Kini tinggal satu pertanyaan: maukah kita memakai mahkota Tuhan yang telah jatuh?
Setiap kali kau membela korban bullying, kau adalah keadilan Tuhan. Setiap kali kau menolak suap, kau adalah kebenaran Tuhan. Setiap kali kau memeluk orang yang berbeda keyakinan, kau adalah kasih Tuhan. Tuhan mungkin ada di surga, tapi keadilan-Nya—jika ada—harus dirajut di bumi dengan tangan kita, dengan keringat kita, dengan risiko kita.
Di pengungsian Suriah, seorang anak perempuan menggambar matahari di dinding yang berlubang peluru. Ia berkata: "Aku tak tahu di mana Tuhan, tapi aku tahu di mana cahaya." Mungkin keadilan Tuhan bukanlah tempat, tapi arah; bukan jawaban, tapi pertanyaan yang memaksa kita bergerak.
Bagaimana Merespon Ketidakadilan di Sekitar Kita?
Dunia ini penuh ketidakadilan. Namun, kita dapat merespons dengan tindakan nyata:
- Jangan diam - Suarakan ketidakadilan yang kamu saksikan
- Bertindak dalam lingkaran pengaruhmu - Mulailah dari hal kecil di lingkungan terdekat
- Bergabung dengan komunitas - Tindakan kolektif lebih kuat daripada individu
- Belajar dari para pejuang keadilan - Teladani figur-figur seperti Martin Luther King Jr. atau Malala Yousafzai
- Tetap bertanya - Pertanyaan kritis adalah langkah pertama menuju keadilan
Bagaimana pendapatmu tentang keadilan Tuhan? Apakah kamu pernah mengalami momen di mana pertanyaan ini mengguncang keyakinanmu? Bagikan pengalamanmu di kolom komentar di bawah.