George Soros: Sosok Kontroversial di Balik Transformasi Ekonomi dan Politik Global
Dalam lanskap keuangan dan politik global, satu nama sering muncul baik dalam bisikan forum internet maupun dalam perdebatan serius di kancah internasional: George Soros. Pria kelahiran Budapest ini bukan sekadar miliarder yang meraih kekayaan dari spekulasi pasar, tetapi juga menjadi simbol kontroversial yang oleh sebagian orang dipandang sebagai filantropis visioner, sementara oleh yang lain dianggap sebagai dalang kekacauan global.
Artikel ini akan menelusuri kisah hidup George Soros—dari masa kecilnya yang bergejolak di Hungaria saat Perang Dunia II, perjalanan panjangnya menjadi salah satu investor terkaya dunia, hingga aktivitas filantropinya yang kontroversial, termasuk dampaknya di Indonesia. Siapakah sebenarnya sosok di balik nama yang telah menjadi semacam mitos modern ini?
Masa Kecil: Bertahan Hidup di Tengah Holocaust
Lahir dalam Ketidakpastian
George Soros, yang bernama asli György Schwartz, lahir pada 12 Agustus 1930 di Budapest, Hungaria. Ia tumbuh dalam keluarga Yahudi sekuler yang mengedepankan pendidikan dan nilai-nilai humanisme. Ayahnya, Tivadar Schwartz, adalah seorang pengacara, penulis, dan pendukung Esperanto—bahasa internasional yang dirancang untuk memfasilitasi komunikasi global tanpa batasan nasional atau budaya.
Bertahan di Bawah Bayangan Nazi
Kehidupan Soros muda berubah drastis saat Nazi menginvasi Hungaria pada Maret 1944. Dalam hitungan minggu, lebih dari 437.000 warga Yahudi Hungaria dideportasi ke kamp kematian Auschwitz. Untuk menyelamatkan keluarganya, ayah Soros mengatur serangkaian dokumen palsu. Soros yang saat itu berusia 13 tahun disembunyikan sebagai anak baptis dari seorang pegawai Kementerian Agraria bernama Baumbach.
"Saya seperti sedang memainkan peran di dunia yang gila," kenang Soros dalam dokumenter hidupnya.
Pengalaman traumatis hidup dalam penyamaran ini—tidak boleh pergi ke sekolah, tidak boleh menyebut nama aslinya, dan menyaksikan dari dekat penyitaan properti milik orang Yahudi—kelak menjadi fondasi bagi pandangan filosofisnya terhadap kekuasaan dan ketidakadilan.
Perjalanan Menuju Wall Street
Meninggalkan Hungaria
Setelah Hungaria dibebaskan oleh pasukan Soviet, Soros semakin menyadari bahwa satu bentuk penindasan telah digantikan oleh bentuk lainnya—komunisme totaliter. Pada tahun 1947, di usia 17 tahun, Soros meninggalkan Hungaria menuju Inggris untuk mencari kebebasan intelektual.
Perjuangan di London
Di London, Soros menjalani kehidupan yang jauh dari glamor. Ia bekerja sebagai buruh pelabuhan, pelayan restoran, dan penjual suvenir untuk membiayai pendidikannya di London School of Economics (LSE). Di sinilah Soros bertemu dengan Karl Popper, filsuf yang mengenalkannya pada konsep "Open Society" atau "Masyarakat Terbuka"—sebuah sistem yang menghargai kebebasan individu, pluralisme, dan kritik terhadap otoritarianisme.
Menembus Wall Street
Setelah lulus dari LSE pada 1952, Soros menghadapi penolakan dari lebih dari 80 institusi keuangan di London. Banyak yang menolaknya karena aksen Eropa yang kental, latar belakang akademisnya yang dianggap terlalu teoritis, atau bahkan karena statusnya sebagai imigran Yahudi dari Eropa Timur.
Titik balik terjadi pada 1956 ketika ia mendapatkan kesempatan bekerja di F.M. Mayer di New York sebagai analis arbitrase—mengamati perbedaan harga aset yang diperdagangkan di pasar berbeda. Inilah awal dari karier finansialnya yang cemerlang.
Quantum Fund dan Black Wednesday
Membangun Imperium Keuangan
Pada 1969, Soros mendirikan Double Eagle Fund—yang kemudian menjadi Quantum Fund—dengan modal awal sekitar 4 juta dolar Amerika. Berbeda dengan hedge fund lain yang fokus pada saham atau obligasi AS, Soros menciptakan strategi "global macro", melihat dunia sebagai satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Pendekatan ini membawa Quantum Fund menghasilkan keuntungan sekitar 40% per tahun.
Black Wednesday: Menjatuhkan Bank of England
Momen paling terkenal dalam karier investasi Soros terjadi pada 16 September 1992—hari yang kemudian dikenal sebagai "Black Wednesday". Soros melihat bahwa nilai tukar Poundsterling terlalu tinggi dibanding fundamental ekonomi Inggris saat itu.
Quantum Fund kemudian membangun posisi short terhadap Pound, meminjam Poundsterling dalam jumlah besar dan menukarkannya ke mata uang lain, terutama Deutsche Mark. Dalam satu hari, Bank of England menghabiskan lebih dari 27 miliar Euro cadangan devisa dan menaikkan suku bunga hingga 15%, namun gagal mempertahankan nilai Pound.
Akibatnya, Inggris terpaksa keluar dari European Exchange Rate Mechanism (ERM), Pound jatuh nilainya, dan Soros dengan Quantum Fund meraup keuntungan lebih dari satu miliar dolar dalam waktu kurang dari 24 jam. Peristiwa ini membuat Soros dijuluki "The Man Who Broke the Bank of England".
Open Society Foundation dan Filantropi Global
Transformasi Menjadi Filantropis
Setelah sukses besar di pasar keuangan, Soros mengalami semacam pencerahan eksistensial. "Saya menjadi sangat sadar akan kesenjangan antara kesuksesan saya di pasar dan keinginan saya untuk mempengaruhi jalannya sejarah," ungkapnya dalam wawancara dengan The New Yorker pada 1995.
Sejak 1993, Soros secara aktif mengubah fokusnya dari seorang kapitalis pasar bebas menjadi salah satu filantropis paling aktif di dunia, mengalirkan miliaran dolar untuk membangun masyarakat terbuka, memperjuangkan keadilan, dan melindungi minoritas.
Open Society Foundation
Open Society Foundation (OSF) yang didirikan Soros sejak 1979 menjadi jantung dari seluruh aktivitas filantropinya. OSF bukan sekadar yayasan amal, melainkan jaringan global yang membiayai pendidikan, reformasi hukum, jurnalisme independen, dan penguatan masyarakat sipil.
Setelah runtuhnya Tembok Berlin, Soros fokus pada pembangunan demokrasi di negara-negara Eropa Timur pasca-komunis. OSF membangun universitas, jaringan media, dan lembaga hukum sebagai pondasi demokrasi. Aktivitas ini kemudian merambah ke Afrika, Amerika Serikat, dan Asia.
Kontroversi dan Teori Konspirasi
Sasaran Kritik Global
Aktivitas filantropi Soros tidak selalu disambut baik. Banyak negara, terutama yang otoriter atau nasionalis, melihat aktivitas Soros sebagai intervensi asing.
Di Malaysia, Perdana Menteri Mahathir Mohamad menyalahkan Soros atas krisis moneter Asia 1997. Di Rusia, Vladimir Putin mencurigai OSF sebagai instrumen infiltrasi Barat. Pada 2015, Rusia secara resmi melarang Open Society Foundation dan menyebutnya sebagai ancaman terhadap tatanan konstitusional negara.
Konfrontasi paling menyakitkan bagi Soros terjadi di tanah kelahirannya sendiri. Setelah Viktor Orbán berkuasa di Hungaria pada 2010 dengan agenda nasionalis sayap kanan, pemerintah melancarkan kampanye anti-Soros yang agresif, bahkan memaksa Central European University yang didirikan Soros pindah ke Wina pada 2018.
Menjadi Target Teori Konspirasi
Di Amerika Serikat, sebagai pendonor besar Partai Demokrat dan organisasi progresif, Soros menjadi sasaran teori konspirasi dari sayap kanan. Ia dituding mendanai segala hal yang dianggap "anti-Amerika"—dari gerakan Black Lives Matter dan reformasi imigrasi hingga upaya menggulingkan pemerintahan Trump.
Teori konspirasi tentang Soros semakin marak di era media sosial, bahkan pada 2018, Soros menjadi target paket bom yang dikirimkan oleh seorang ekstremis sayap kanan.
Soros dan Indonesia
Krisis Moneter 1997-1998
Di Indonesia, nama Soros mulai dikenal luas saat krisis ekonomi Asia 1997-1998. Ketika rupiah jatuh dari Rp 2.400 menjadi Rp 16.000 terhadap dolar AS dalam hitungan bulan dan inflasi melonjak lebih dari 70%, banyak pihak mencari "kambing hitam".
Meski tidak ada bukti keterlibatan langsungnya dalam spekulasi terhadap rupiah, rekam jejak Soros dalam Black Wednesday membuatnya dijadikan sasaran tuduhan oleh banyak pemimpin Asia, termasuk secara implisit oleh Presiden Soeharto. Dalam pidatonya yang diberitakan Kompas pada 1998, Soeharto menyinggung adanya "kekuatan luar yang memainkan spekulasi terhadap rupiah".
Tifa Foundation dan Dukungan Masyarakat Sipil
Ironisnya, setelah kejatuhan Soeharto, Open Society Foundation justru menjadi salah satu pendonor utama masyarakat sipil Indonesia dalam transisi menuju demokrasi. Pada tahun 2000, OSF mendirikan Tifa Foundation di Indonesia yang berfokus pada isu transparansi, demokrasi, keadilan sosial, dan kebebasan sipil.
Tifa Foundation mendanai berbagai kegiatan mulai dari pemantauan pemilu oleh lembaga independen, penguatan kapasitas jurnalis, advokasi anti-korupsi, hingga pendidikan hak asasi manusia untuk komunitas akar rumput.
Narasi Konspirasi di Era Digital
Di dekade 2010-an, dengan meluasnya penggunaan internet dan media sosial di Indonesia, narasi tentang Soros mengalami "mutasi liar". Nama George Soros mulai muncul di grup WhatsApp, video YouTube, dan unggahan Facebook sebagai "dalang jahat global".
Soros dituduh mendanai segala macam hal—dari LGBT, komunisme, "revolusi warna" hingga berbagai demonstrasi di Indonesia seperti penolakan Omnibus Law, Aksi 212, dan gerakan reformasi korupsi. Bahkan dalam versi tertentu, Soros dijadikan tokoh sentral dalam narasi "perang antara Islam dan liberalisme".
Memahami Fenomena Soros
Di Antara Mitos dan Realitas
George Soros bukanlah "dewa penyelamat demokrasi", tetapi juga bukan "setan" seperti yang digambarkan dalam berbagai teori konspirasi. Ia adalah aktor dengan kekuatan besar—modal, jaringan global, dan pengaruh intelektual—yang memiliki agenda dan kepentingan.
Dalam bukunya "The Age of Fallibility", Soros mengakui bahwa dirinya bukan orang yang tidak mungkin salah. Ia justru membangun seluruh pendekatan investasinya atas asumsi bahwa dirinya bisa salah.
Kambing Hitam yang Sempurna
Mengapa nama Soros begitu efektif dijadikan kambing hitam? Jawabannya terletak pada tiga faktor utama:
- Transnasionalitas: Soros beroperasi lintas batas negara, bukan hanya di satu wilayah.
- Kekayaan pribadi: Uang yang digelontorkan Soros digunakan untuk tujuan ideologis, bukan sekadar investasi.
- Keterlibatan politik: Soros terlibat langsung maupun tidak langsung dalam berbagai isu politik nasional dan internasional.
Namun, lebih dari itu, efektivitas Soros sebagai "musuh bersama" mencerminkan landscape psikologis dan sosial-politik bangsa yang belum selesai berdialog dengan trauma sejarahnya—baik trauma kolonialisme, intervensi asing, maupun pembelahan politik dalam negeri.
Kesimpulan
George Soros adalah sosok yang kompleks: imigran yang menjadi miliarder, spekulan yang menjadi filantropis, dan pemikir yang tetap kontroversial. Perjalanan hidupnya dari korban Holocaust hingga menjadi salah satu orang terkaya dunia menunjukkan resiliensi luar biasa. Namun, pengaruhnya yang luas pada ekonomi dan politik global telah membuatnya menjadi figur polarisasi.
Di Indonesia dan banyak negara lain, nama Soros telah menjadi simbol yang melampaui orangnya sendiri—mewakili ketakutan akan intervensi asing, globalisasi, dan perubahan nilai tradisional. Memahami fenomena Soros memerlukan perspektif yang kritis namun seimbang, menjauh dari glorifikasi maupun demonisasi berlebihan.
Pada akhirnya, kisah Soros mengingatkan kita bahwa dalam dunia yang semakin terhubung, batas antara pahlawan dan penjahat, filantropis dan manipulator, seringkali lebih kabur dari yang kita bayangkan.
Bagaimana pendapat Anda tentang sosok George Soros dan pengaruhnya di Indonesia? Apakah ia filantropis yang membantu demokratisasi atau spekulan yang merusak ekonomi? Bagikan pendapat Anda di kolom komentar dan jangan lupa untuk membagikan artikel ini ke media sosial.
Untuk mendapatkan artikel menarik lainnya seputar tokoh-tokoh berpengaruh dunia, jangan lupa untuk berlangganan newsletter kami.