Kerajaan Mongol: Kekaisaran Terbesar yang Pernah Menguasai 16% Wilayah Bumi

Saat berbicara tentang kekaisaran terbesar dalam sejarah dunia, kerajaan Mongol selalu menempati posisi teratas. Bangsa nomaden yang awalnya hidup sebagai pengembara di stepa Mongolia ini berhasil membangun imperium yang menguasai 16% wilayah daratan bumi, membentang dari Korea Selatan hingga Polandia. Di balik pencapaian luar biasa ini berdiri sosok pemimpin legendaris, Genghis Khan, yang dengan kecerdasan dan strategi perangnya mengubah bangsa pengembara menjadi kekuatan militer paling ditakuti di dunia. Namun, tahukah Anda bahwa kekaisaran yang begitu besar dan ditakuti ini pada akhirnya mengalami kekalahan memalukan di tangan bangsa Jawa?

Awal Mula Kekaisaran Mongol

Dari Great Liu hingga Hamak Mongol

Sejarah Mongol bermula dari awal abad ke-10, sekitar tahun 907 hingga 1125 Masehi, ketika proto bangsa Mongol yang dikenal sebagai suku Khitan membentuk kerajaan yang disebut Great Liu. Seperti kerajaan lainnya, mereka berusaha memperluas kekuasaan dengan menyerang Korea, China, dan Asia Tengah. Namun, kerajaan ini tidak bertahan lama karena dikalahkan oleh Dinasti Jin dari China pada tahun 1125.

Kekalahan ini mendorong bangsa Khitan bergerak ke barat dan mendirikan negara baru bernama Liu Barat. Pada masa itu, beberapa suku nomaden di utara mulai bersatu membentuk konfederasi yang disebut "Hamak Mongol" (Mongol Utuh).

Kemunculan Temujin

Di dalam Hamak Mongol terdapat suku Borjigin yang sering kali memimpin konfederasi tersebut. Ketika mencapai abad ke-12, Hamak Mongol telah tumbuh menjadi kekuatan yang besar namun terlibat persaingan panjang dengan suku Tatars yang akhirnya melemahkan kekuatan mereka.

Pada pertengahan abad ke-12, suku Borjigin dipimpin oleh Yesugei yang berusaha menyatukan kembali suku-suku yang terpecah. Ia mengatur pernikahan diplomatik antara putranya, Temujin (yang baru berusia 9 tahun), dengan putri dari kepala suku terdekat bernama Borte. Sayangnya, Yesugei tewas (dikabarkan diracuni oleh suku Tatars) pada hari pernikahan tersebut.

Setelah kematian ayahnya, Temujin berusaha mengambil alih kepemimpinan namun ditolak oleh sukunya sendiri. Ia diasingkan bersama keluarganya dan hidup dalam kemiskinan bahkan pernah diperbudak selama 6 tahun. Meskipun demikian, tekad Temujin untuk bangkit tidak pernah padam.

Kebangkitan Temujin Menjadi Genghis Khan

Perjuangan dan Persaingan dengan Jamuka

Masa-masa sulit tidak mematahkan semangat Temujin. Ia mendapat bantuan dari saudara sedarahnya, Jamuka, dan pemimpin suku Karaite, Togrul Khan. Bersama mereka, Temujin mulai menyatukan kekuatan untuk menaklukkan suku-suku lain.

Awalnya kerjasama berjalan baik, namun perbedaan ideologi akhirnya memisahkan Temujin dan Jamuka. Jamuka mendukung aristokrasi tradisional Mongolia di mana orang di luar suku tidak boleh menduduki posisi kekuasaan tinggi. Sebaliknya, Temujin bersedia memberikan posisi kepada siapapun yang pandai, terampil, dan setia, meskipun berasal dari luar sukunya.

Kebijakan Temujin ini membuatnya lebih populer di kalangan suku lain, membuat Jamuka merasa terancam. Pada tahun 1187, Jamuka menyerang Temujin dengan 30.000 pasukan dan berhasil mengalahkannya dalam pertempuran Dalan Balzud. Setelah kekalahan ini, Temujin menghilang dari catatan sejarah selama hampir 10 tahun.

Kemunculan Kembali dan Penyatuan Mongol

Temujin muncul kembali pada tahun 1197 sebagai pemimpin pasukan gabungan Mongol, Karaite, dan Dinasti Jin untuk melawan suku Tatars. Di bawah komando Temujin, pasukan gabungan berhasil menang dan para pemimpin Tatars dieksekusi. Rakyat biasa dari suku ini diajak bergabung dengan pasukan Temujin.

Ciri khas kepemimpinan Temujin adalah menempatkan orang berdasarkan keterampilan dan kesetiaan, bukan berdasarkan asal suku. Ini merupakan revolusi yang sangat berpengaruh pada masa itu. Ia mereformasi bangsa Mongol menjadi pasukan tempur yang kuat dan disiplin dengan sistem komando yang efektif.

Temujin membagi pasukannya menjadi 10 unit tempur dan menerapkan hukuman tegas bagi siapapun yang mencoba berpindah unit. Kebijakan ini membuat pasukannya jauh lebih efektif, disiplin, dan setia.

Pengangkatan sebagai Genghis Khan

Pada tahun 1201, sejumlah suku lawan meresmikan Jamuka sebagai Khan (pemimpin bangsa Mongol). Temujin tidak menerima keputusan ini, memicu perang selama 5 tahun yang dikenal sebagai "Battle of the 13 Sides". Temujin berhasil memenangkan perang dan menyingkirkan Jamuka dari kepemimpinan.

Setelah kemenangannya, para pemimpin Mongol mengangkat Temujin sebagai pemimpin baru dan memberinya gelar "Genghis Khan". Di bawah kepemimpinannya, suku-suku nomaden yang sebelumnya bertikai akhirnya bersatu.

Ekspansi Kekaisaran Mongol

Invasi terhadap Xi Xia dan Dinasti Jin

Sejak tahun 1209, pasukan Genghis Khan mulai menginvasi wilayah-wilayah sekitar. Negara pertama yang ditaklukkan adalah Xi Xia. Meskipun informasi mengenai invasi ini terbatas, diketahui bahwa pasukan Genghis Khan memenangkan peperangan dengan taktik pengepungan, membuat beberapa kota menyerah karena kelaparan dan penyakit.

Pada tahun 1211, Genghis Khan mengarahkan perhatiannya ke Dinasti Jin yang berkuasa di China. Meskipun pasukan Jin memiliki jumlah yang jauh lebih besar (sekitar 950.000 pasukan dibandingkan dengan 90.000 pasukan Mongol), pasukan Mongol lebih terlatih dan memiliki strategi yang lebih baik.

Genghis Khan menggunakan berbagai taktik cerdik, termasuk mengirim pasukan kecil untuk menyerang pertahanan dari belakang dan memanfaatkan celah pegunungan yang tidak dijaga. Jenderal Jebe, salah satu komandan terbaiknya, menggunakan taktik "mundur palsu" untuk memancing pasukan Jin keluar dan memecah mereka menjadi kelompok kecil yang lebih mudah dihancurkan.

Setelah beberapa kali harus mundur karena cuaca dan musim dingin, pasukan Mongol akhirnya berhasil merebut Beijing pada tahun 1213. Penduduk yang dianggap memiliki keterampilan berharga seperti dokter, insinyur, pengrajin, dan pedagang diampuni dan diajak bergabung dengan pasukan Mongol, sementara yang lainnya dijadikan budak atau tameng hidup.

Ekspansi ke Barat: Kekaisaran Kharazmian

Setelah menaklukkan Xi Xia dan sebagian Dinasti Jin, Genghis Khan mulai mengarahkan perhatiannya ke barat. Kekaisaran Mongol kini berbatasan dengan Kekaisaran Kharazmian yang diperintah oleh Syah Muhammad I.

Awalnya, Genghis Khan tidak berniat menginvasi wilayah ini dan malah mengirim kafilah berisi hadiah untuk menjalin hubungan persahabatan dan perdagangan. Namun, ketika rombongan tiba di kota Otrar, gubernur setempat bernama Inalcuk menangkap mereka dengan tuduhan mata-mata.

Genghis Khan mengirim tiga duta untuk meminta pembebasan rombongan, tetapi Syah Muhammad I menolak permintaan tersebut dan bahkan membunuh salah satu duta. Bagi Genghis Khan, ini adalah penghinaan besar yang memicu invasi terhadap Kekaisaran Kharazmian.

Dengan strategi militer yang brilian, Genghis Khan membagi pasukannya menjadi tiga. Putra sulungnya, Juchi, bersama Jenderal Jebe membawa 20.000 pasukan menyeberangi pegunungan Tian Shan untuk menghancurkan Lembah Fergana. Putra kedua dan ketiga, Chagatai dan Ogedi, membawa 20.000 pasukan lain untuk mengepung kota Otrar.

Setelah pengepungan selama 5 bulan, seorang pengkhianat membuka gerbang kota, memungkinkan pasukan Mongol menaklukkan Otrar. Penduduk kota dibunuh atau diperbudak, dan kota diratakan dengan tanah. Gubernur Inalcuk dikabarkan disiksa hingga mati dengan cara yang brutal.

Taktik Perang yang Mengerikan

Pasukan Genghis Khan kemudian melakukan gerakan mengejutkan dengan berjalan 300 mil melewati gurun Kyzylkum yang sangat ganas untuk mencapai kota Bukhara yang dekat dengan ibu kota Samarkand. Setelah merebut Bukhara yang pertahanannya lemah, mereka bergerak ke Samarkand dan melakukan pengepungan pada Maret 1220.

Dalam penyerangan terhadap Samarkand, pasukan Mongol menggunakan "tameng hidup" dari penduduk yang ditawan untuk melindungi diri dari panah musuh. Mereka juga menerapkan taktik "mundur palsu" yang khas, berhasil menghancurkan setengah dari pasukan pertahanan Samarkand termasuk gajah perang mereka.

Syah Muhammad I yang berusaha menyelamatkan kota akhirnya terpaksa melarikan diri setelah melihat sebagian besar pasukannya menyerah. Pasukan Mongol menduduki Samarkand dan mengeksekusi sekitar 100.000 penduduk kota.

Kekuatan dan Kecerdasan Militer Mongol

Struktur Pasukan yang Efisien

Salah satu kunci keberhasilan pasukan Mongol adalah struktur militer yang sangat efisien. Genghis Khan membagi pasukannya menjadi unit-unit kecil yang disebut "tumen" (10.000 orang), "mingghan" (1.000 orang), "jagun" (100 orang), dan "arban" (10 orang).

Sistem komando berjenjang ini memungkinkan pengendalian pasukan yang besar dengan efektif. Setiap unit memiliki komandan yang dipilih berdasarkan kemampuan, bukan status sosial atau keturunan. Hal ini menciptakan loyalitas yang tinggi di kalangan pasukan.

Mobilitas dan Kecepatan

Pasukan Mongol terkenal dengan mobilitas tinggi karena hampir seluruhnya terdiri dari kavaleri. Setiap prajurit memiliki beberapa kuda cadangan, memungkinkan mereka bergerak cepat tanpa harus berhenti lama untuk istirahat. Mereka mampu menempuh jarak 60-100 mil per hari, jauh melampaui kemampuan pasukan lain pada masa itu.

Mobilitas ini memberikan keuntungan strategis yang besar, memungkinkan mereka menyerang dari arah yang tidak terduga dan melakukan pengepungan dengan cepat.

Taktik Perang Inovatif

Genghis Khan dan para jenderalnya mengembangkan berbagai taktik perang inovatif:

  1. Taktik Mundur Palsu: Pasukan berpura-pura mundur untuk memancing musuh keluar dari pertahanan, kemudian berbalik menyerang ketika formasi musuh sudah tidak teratur.
  2. Pengepungan Psikologis: Mongol sering kali menyebarkan teror dengan membantai seluruh penduduk kota yang melawan, tetapi menawarkan keamanan bagi yang menyerah tanpa perlawanan.
  3. Adaptasi Teknologi: Mereka cepat belajar dan mengadopsi teknologi pengepungan dari musuh yang dikalahkan, dengan merekrut insinyur dan ahli dari wilayah yang ditaklukkan.
  4. Komunikasi Jarak Jauh: Sistem komunikasi menggunakan api, asap, dan penunggang kuda cepat memungkinkan koordinasi pasukan yang terpisah jarak jauh.

Era Keemasan di Bawah Kubilai Khan

Penerus Genghis Khan

Setelah wafat pada tanggal 18 Agustus 1227 di usia 66 tahun, kepemimpinan Genghis Khan dilanjutkan oleh putra-putranya. Sebelum wafat, ia telah membagi wilayah kekuasaan: Mongolia diberikan kepada Tolui, Persia dan Eropa kepada Juchi, Asia Tengah kepada Chagatai, dan China kepada Ogdei yang menjadi Khan Agung.

Ogdei sangat terampil dalam administrasi. Di bawah kepemimpinannya, bangsa Mongol berubah menjadi kerajaan berbasis pajak. Ia membangun ibu kota Karakorum, mengembangkan hukum, menciptakan layanan pos, memperkenalkan mata uang kertas, dan menciptakan sistem ujian pegawai negeri yang terbuka bagi semua orang.

Kepemimpinan Kubilai Khan

Setelah beberapa pergantian pemimpin, Kubilai Khan, cucu Genghis Khan, naik ke kursi kekuasaan pada tahun 1260. Ia mendapatkan kekuasaan setelah mengalahkan saudaranya, Ariq, dalam perang saudara selama 4 tahun.

Kubilai memindahkan ibu kota ke Khanbaliq (sekarang Beijing) dan pada tahun 1271 mengklaim dirinya sebagai kaisar, mengubah kekaisarannya menjadi Dinasti Yuan yang bergaya Tionghoa. Di bawah kepemimpinannya:

  1. Berdiri 20.000 sekolah umum
  2. Banyak kesenian dilestarikan
  3. Pengetahuan berkembang melalui pertemuan dengan tokoh-tokoh berpengaruh seperti Marco Polo
  4. Dibangun 1.400 stasiun pos untuk perdagangan
  5. Kekaisaran dibuka untuk dunia luar
  6. Sistem pemerintahan menjadi terpusat dan efisien

Kubilai juga membentuk armada laut dengan merekrut pelaut berpengalaman dari Tiongkok Utara dan Korea. Armada ini digunakan untuk menguasai sungai-sungai Tiongkok dan memblokir pasukan musuh.

Kekalahan Memalukan di Tanah Jawa

Konflik dengan Kerajaan Singasari

Pada abad ke-13, sebagian besar wilayah Jawa, khususnya Jawa Timur, Sumatera, dan Kalimantan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Singasari yang didirikan oleh Ken Arok. Raja yang berkuasa saat itu adalah Kertanegara, yang menggantikan ayahnya, Raja Jaya Wisnu Wardana.

Pada tahun 1280-an, Kubilai Khan mengirim utusan bernama Meng Ki ke Kerajaan Singasari untuk meminta Kertanegara mengakui kedaulatan Mongol dan membayar upeti. Kertanegara yang ambisius dan tidak ingin berbagi kekuasaan atau keuntungan perdagangan, menolak permintaan tersebut.

Menurut catatan Tiongkok, Kertanegara bahkan menghina utusan Mongol dengan mencap wajahnya dengan besi panas, memotong hidungnya, dan beberapa sumber menyebutkan bahwa ia membunuh Meng Ki. Tindakan ini dianggap sebagai penghinaan besar terhadap Kubilai Khan.

Invasi Mongol ke Jawa

Merasa tersinggung, Kubilai Khan mempersiapkan invasi besar-besaran ke Jawa pada tahun 1292. Armada terdiri dari sekitar 20.000 pasukan yang sebagian besar berasal dari Tiongkok Selatan, diangkut dengan 1.000 kapal. Pasukan dipimpin oleh Gaong Sing dari Dinasti Song, angkatan laut dipimpin oleh Yigmis dari Uighur, dan seluruhnya di bawah komando Shibi dari suku Mongol.

Mereka berangkat dengan membawa persediaan gandum untuk setahun dan 40.000 ons perak untuk membeli persediaan tambahan. Kubilai Khan memberi instruksi kepada Shibi untuk menyatakan bahwa tujuan kedatangan mereka bukan untuk menyerang atau menginvasi Jawa, melainkan untuk menghukum Kertanegara dan meminta ganti rugi atas pembunuhan utusannya.

Armada tiba di lepas pantai Jawa pada Maret 1293, namun situasi telah berubah. Kertanegara telah tewas dibunuh oleh pengikutnya yang memberontak, yaitu Jayakatwang dari Kediri. Kerajaan Singasari runtuh dan digantikan oleh Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh menantu Kertanegara, Raden Wijaya.

Strategi Cerdik Raden Wijaya

Pasukan Mongol terjebak di tengah perang saudara antara Raden Wijaya dan Jayakatwang. Setelah beberapa hari kebingungan, mereka memutuskan untuk mendaratkan pasukan di Tuban dan bergerak menuju Pacitan.

Di tengah situasi ini, Raden Wijaya mengirim utusan kepada pasukan Mongol, meminta bantuan untuk melawan Jayakatwang. Sebagai imbalan, ia berjanji akan tunduk pada Kubilai Khan. Para komandan Mongol menyetujui tawaran ini tanpa curiga.

Pasukan gabungan Mongol dan Majapahit berhasil mengalahkan pasukan Jayakatwang di Kediri. Setelah kemenangan ini, Raden Wijaya berkata bahwa ia harus kembali ke Majapahit untuk melakukan peresmian penyerahan diri. Ia dikawal oleh pasukan kecil Mongol yang tidak bersenjata.

Namun, Raden Wijaya telah menyusun strategi pengkhianatan. Ketika pasukan Mongol lengah, ia membunuh mereka dan kembali ke Majapahit. Ia kemudian mengerahkan seluruh pasukan Majapahit dan rakyat Jawa untuk mengusir pasukan Mongol dari tanah Jawa.

Kekalahan Pasukan Mongol

Komandan Shibi dan Gausing berhasil lolos dari jebakan di Kediri, tetapi kehilangan 3.000 pasukan dalam proses pelariannya ke Pacitan. Setelah mencapai kapal, para komandan mempertimbangkan untuk melakukan serangan balik tetapi memilih untuk mundur untuk menghindari kerugian yang lebih besar.

Meskipun mereka membawa pulang beberapa pusaka, peta Pulau Jawa, daftar penduduk, rempah, emas, perak, dan tawanan, nilai ini tidak menutupi biaya ekspedisi. Kubilai Khan sangat marah atas kekalahan memalukan ini dan menghukum para komandannya.

Bangsa Jawa tercatat sebagai bangsa yang memberikan perlawanan paling efektif dengan biaya dan tenaga minimal, namun menghasilkan keuntungan maksimal dibandingkan bangsa-bangsa lain yang pernah melawan Mongol.

Keruntuhan Kekaisaran Mongol

Pasca Kubilai Khan

Kubilai Khan meninggal pada awal tahun 1294. Sepeninggalnya, penerusnya tidak lagi memiliki keinginan untuk membalas kekalahan di Asia Tenggara. Sementara itu, Raden Wijaya yang kini menguasai sebagian besar wilayah Indonesia dan Malaysia modern, berani mengirimkan utusan ke Dinasti Yuan untuk melanjutkan hubungan dagang.

Setelah kematian Kubilai Khan, posisinya digantikan oleh Temur Khan. Namun, kekaisaran Mongol perlahan melemah akibat perpecahan internal, perang saudara, tekanan dari kekuatan luar, dan merosotnya ekonomi.

Perpecahan dan Kehancuran

Kekaisaran terbesar dalam sejarah ini akhirnya menemui titik akhirnya pada tahun 1368, setelah terpecah menjadi empat negara bagian yang bahkan masih terpecah lagi menjadi bagian-bagian kecil. Dinasi Yuan runtuh akibat perlawanan Dinasti Ming.

Beberapa faktor yang berkontribusi pada keruntuhan Kekaisaran Mongol:

  1. Perpecahan Internal: Perebutan kekuasaan di antara keturunan Genghis Khan melemahkan kekaisaran.
  2. Terlalu Luas: Wilayah kekaisaran yang terlalu luas sulit dikendalikan secara efektif.
  3. Adaptasi Budaya: Banyak penguasa Mongol yang mengadopsi budaya lokal dan kehilangan identitas Mongol mereka.
  4. Perlawanan Lokal: Perlawanan dari penduduk lokal di berbagai wilayah kekuasaan semakin melemahkan kontrol Mongol.
  5. Wabah Penyakit: Black Death (wabah pes) pada abad ke-14 sangat merugikan kekaisaran.

Kesimpulan

Kerajaan Mongol merupakan salah satu kekaisaran terbesar dan paling berpengaruh dalam sejarah dunia. Dari awal yang sederhana sebagai suku nomaden di stepa Mongolia, mereka berhasil membangun imperium yang menguasai 16% wilayah bumi berkat kepemimpinan luar biasa Genghis Khan dan penerusnya.

Kekuatan militer Mongol terletak pada struktur organisasi yang efisien, mobilitas tinggi, taktik perang inovatif, dan kemampuan untuk mengadaptasi teknologi baru. Di bawah kepemimpinan Kubilai Khan, kekaisaran ini mencapai puncak kejayaan dengan sistem administrasi yang maju dan hubungan dagang yang luas.

Namun, bahkan kekaisaran yang begitu kuat pun memiliki batas. Kekalahan memalukan di tanah Jawa oleh Raden Wijaya menunjukkan bahwa kecerdikan dan strategi bisa mengalahkan kekuatan besar. Setelah kematian Kubilai Khan, kekaisaran perlahan melemah akibat perpecahan internal dan tekanan dari luar hingga akhirnya runtuh pada tahun 1368.

Jejak kekuasaan Mongol masih terasa hingga saat ini, terutama dalam pembentukan identitas nasional dan politik di wilayah Asia Tengah, Timur, dan sebagian Eropa Timur. Kisah mereka mengingatkan kita bahwa bahkan kekuatan terbesar pun memiliki titik lemah, dan bahwa perubahan adalah satu-satunya konstanta dalam sejarah peradaban manusia.


Bagaimana pendapat Anda tentang strategi perang Genghis Khan dan kekalahan pasukan Mongol di Jawa? Berbagi pemikiran Anda di kolom komentar di bawah!