Krisis Rohingya: Konflik Kompleks yang Memaksa Etnis Terusir dari Tanah Air Mereka
Pendahuluan: Lebih dari Sekedar Konflik Agama
Ketika mendengar nama "Rohingya", banyak yang hanya mengetahui sekilas bahwa mereka adalah etnis Muslim yang terusir dari Myanmar. Namun, kenyataannya, konflik Rohingya jauh lebih kompleks dari yang terlihat. Ini bukan sekedar pembersihan satu kelompok agama, mengingat etnis Rohingya terdiri dari pemeluk Islam, Kristen, dan Hindu.
Rohingya adalah kelompok masyarakat yang hidup di wilayah Rakhine (Arakan) di sudut barat Myanmar, berbatasan langsung dengan Teluk Benggala dan Bangladesh. Mereka telah menjadi korban konflik berkepanjangan akibat tindakan sistematis junta militer Myanmar yang berusaha membersihkan mereka dari wilayah tersebut.
Dalam artikel ini, kita akan mengupas sejarah konflik Rohingya, penyebab pengusiran mereka, serta nasib mereka sebagai pengungsi di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Asal-Usul Rohingya: Dua Versi yang Bertentangan
Versi Pertama: Penduduk Asli Sejak Ratusan Tahun
Menurut beberapa sejarawan, etnis Rohingya telah mendiami Myanmar sejak ratusan tahun lalu. Mereka diyakini berasal dari Kerajaan Arakan, sebuah kerajaan Islam yang berdiri sekitar tahun 1430 sampai 1784. Bukti keberadaan mereka terlihat dari Masjid Badar di wilayah Rakhine yang diperkirakan dibangun sekitar tahun 1430-an.
Catatan sejarah juga menunjukkan bahwa pada abad ke-8 hingga ke-10, Kerajaan Arakan memiliki hubungan dengan dunia Islam melalui jalur perdagangan dan hubungan diplomatik. Etnis Rohingya diyakini merupakan keturunan campuran antara penduduk Kerajaan Arakan dengan pedagang Arab, Bangladesh, atau campuran etnis Indo-Arya dan Arab.
Versi Kedua: Imigran Era Kolonial Inggris
Sementara itu, versi yang diyakini oleh pemerintah Myanmar menyebutkan bahwa etnis Rohingya adalah imigran yang datang dari wilayah Chittagong di Bangladesh pada masa kolonial Inggris di abad ke-19. Menurut versi ini, kehadiran Inggris membawa lebih banyak imigran dan mengubah kondisi etnis di Rakhine.
Secara bertahap, kelompok imigran ini mengidentifikasi diri mereka sebagai "Rohingya" yang baru muncul dalam catatan sejarah pada awal abad ke-20. Pemerintah Myanmar tidak mengakui keberadaan etnis Rohingya dan melabeli mereka sebagai "etnis Benggala", serta menyatakan bahwa satu-satunya etnis Muslim yang diakui di Myanmar adalah etnis Kaman.
Akar Kebencian terhadap Rohingya
Kebencian terhadap Rohingya sudah dimulai sejak tahun 1784 ketika Raja Bodawpaya dari Myanmar (dulu disebut Burma) menyerang Arakan hingga habis dan menghancurkan peninggalan-peninggalannya di wilayah Rakhine. Ia juga memprovokasi etnis Magh yang juga berada di wilayah Rakhine untuk ikut menghancurkan Arakan.
Serangan terhadap masyarakat Arakan berlangsung hingga tahun 1824, ketika Inggris datang untuk menguasai Myanmar. Meskipun serangan sempat berkurang di masa pemerintahan Inggris, pada tahun 1942 etnis Rohingya (keturunan masyarakat Arakan) dibantai oleh etnis Magh hingga menelan korban sekitar 100.000 jiwa.
Diskriminasi sistematis berlanjut hingga masa kemerdekaan Myanmar. Pada tahun 1947, ketika Myanmar mempersiapkan kemerdekaan, semua etnis diundang dalam deklarasi penting tersebut kecuali etnis Rohingya. Pemerintah Myanmar juga tidak memasukkan etnis ini ke dalam kelompok masyarakat yang diakui dan tidak berhak mendapatkan kewarganegaraan.
Puncak Konflik dan Eksodus Besar-Besaran
Setelah ketegangan yang berlangsung puluhan tahun, konflik Rohingya mencapai puncaknya pada tahun 2017. Pemerintah Myanmar mengerahkan pasukan keamanan untuk mengusir etnis Rohingya ke Bangladesh, mengakibatkan kekerasan besar-besaran, pembakaran desa, pembantaian, dan pengusiran.
Pemerintah Myanmar berdalih bahwa tindakan tersebut merupakan serangan balasan terhadap kelompok pemberontak Rohingya yang menyerang pos keamanan Myanmar pada Oktober 2016. Namun, dalih tersebut sulit dipercaya karena dalam serangan balasan yang berlangsung lebih dari sebulan, sekitar 6.700 jiwa tewas, termasuk perempuan dan anak-anak.
Kesaksian Mantan Anggota Militer Myanmar
Pada tahun 2020, kekejaman pemerintah Myanmar terhadap Rohingya mendapat sorotan internasional setelah tersebar video berisi pengakuan dari beberapa anggota militer Myanmar yang telah membelot. Mereka mengaku bahwa selama konflik dengan etnis Rohingya, mereka selalu mendapat perintah untuk "menembak apapun yang mereka lihat" selama operasi pembersihan, tanpa peduli apakah korbannya lansia, perempuan, atau anak-anak.
Penindasan Sistematis terhadap Rohingya
Sejak awal, pemerintah Myanmar membatasi akses etnis Rohingya terhadap berbagai hal seperti pendidikan, perdagangan, peribadatan, bahkan interaksi sosial dengan sesama. Hal ini membuat etnis Rohingya menjadi masyarakat yang tertinggal, tidak hanya menderita karena permusuhan etnis tetapi juga dalam kemiskinan dan kelaparan.
Etnis-etnis lain di wilayah Rakhine yang juga menderita kelaparan akhirnya menganggap keberadaan Rohingya sebagai musuh dalam perebutan sumber daya. Situasi ini diperburuk oleh pemerintah Myanmar yang memprovokasi etnis-etnis lain untuk semakin membenci Rohingya.
Bantuan internasional untuk Rohingya juga dibatasi oleh pemerintah Myanmar tanpa alasan yang jelas. Tampaknya pemerintah Myanmar berusaha mengendalikan informasi dan narasi seputar konflik Rohingya, serta menolak campur tangan asing dalam urusan internal negara mereka.
Nasib Pengungsi Rohingya di Negara-Negara Tetangga
Sejak puncak konflik pada tahun 2017, setidaknya 730.000 orang Rohingya melarikan diri dari Rakhine dan mencari suaka di negara-negara tetangga. Kebanyakan dari mereka kabur ke Bangladesh, negara terdekat yang berbatasan langsung dengan Rakhine.
Pengungsi Rohingya di Bangladesh
Bangladesh menerima kedatangan pengungsi Rohingya dan menyediakan kamp pengungsian di wilayah Cox's Bazar, yang disebut-sebut sebagai kamp pengungsian terbesar di dunia. Setidaknya 700.000 pengungsi Rohingya tinggal di wilayah tersebut, kebanyakan wanita dan anak-anak.
Meski telah mendapatkan tempat tinggal sementara yang relatif aman dari ancaman junta militer Myanmar, kehidupan mereka masih jauh dari kata berkecukupan. Banyak pengungsi Rohingya yang kemudian pergi ke negara-negara lain menggunakan perahu kecil yang mengangkut ratusan orang, dengan tujuan mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Bahaya yang Mengintai Pengungsi Rohingya
Tindakan melarikan diri ke negara lain sangat berisiko bagi para pengungsi Rohingya. Mereka rentan menjadi korban perdagangan manusia atau ditahan karena masuk ke negara lain secara ilegal. Beberapa berhasil sampai ke negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Indonesia, namun tidak sedikit yang berakhir di kapal penyelundup, menjadi budak, disiksa, atau bahkan dibunuh.
Kasus Perdagangan Manusia di Thailand
Pada Mei 2015, petugas menemukan 30 kuburan massal di Thailand Selatan, di sepanjang perbatasan Thailand-Malaysia. Investigasi mengungkapkan adanya kamp perdagangan manusia dengan korban pengungsi Rohingya.
Para pengungsi yang diselundupkan biasanya diiming-imingi kebebasan tinggal di negara tujuan setelah membayar sejumlah besar uang. Jika tidak bisa memenuhinya, mereka akan dibunuh atau disiksa hingga mati.
Pemerintah Thailand mengutus Mayor Jenderal Pawin Pongsirin untuk menyelidiki kasus ini. Selama 5 bulan, Pawin berhasil mengeluarkan 150 surat penangkapan dan menyeret 88 tersangka ke pengadilan, termasuk politisi, polisi, dan tokoh militer.
Namun, penyelidikan Pawin terhenti karena hambatan dan ancaman yang diterimanya. Para saksi takut untuk bicara, dan barang bukti disembunyikan. Pemerintah Thailand akhirnya menghentikan tugas Pawin pada Oktober 2015, kemungkinan karena orang-orang berpengaruh merasa terancam rahasianya.
Penolakan terhadap Pengungsi Rohingya
Penolakan di Thailand dan Malaysia
Thailand dan Malaysia awalnya bersedia menampung pengungsi Rohingya, tetapi belakangan mengaku tidak mau menampung lagi. Thailand trauma dengan pengungsi sebelumnya dari Kamboja yang menyebabkan munculnya kasus kriminal dan merugikan masyarakat asli Thailand. Selain itu, pemerintah Thailand khawatir jika keberadaan pengungsi Rohingya dimanfaatkan oleh kelompok separatis untuk mengacaukan kedaulatan negara.
Malaysia juga menolak kedatangan pengungsi Rohingya. Petugas otoritas angkatan laut Malaysia selalu menyuruh para pengungsi yang datang menggunakan perahu untuk putar balik. Banner-banner penolakan terhadap pengungsi Rohingya banyak tersebar di Malaysia.
Malaysia mengalami beberapa insiden yang memperburuk kesan terhadap pengungsi Rohingya. Pada tahun 2022, sekitar 530 pengungsi menjebol pagar pusat detensi dan melarikan diri, sebagian mengalami kecelakaan di jalan tol hingga menelan korban jiwa. Selain itu, angka kekerasan meningkat dan ada laporan tentang pengungsi yang bersikap kasar atau bahkan melakukan tindak kekerasan terhadap warga Malaysia.
Penolakan di Indonesia
Di Indonesia, tepatnya di Aceh, pengungsi Rohingya juga menghadapi penolakan serupa. Awalnya, warga Aceh sangat berempati terhadap pengungsi Rohingya dan sering memberikan bantuan. Namun kini, warga di beberapa kabupaten di Aceh menolak kedatangan kapal pengungsi.
Setelah musyawarah, warga akhirnya mau membiarkan para pengungsi ditampung di penampungan sementara dengan perjanjian mereka harus segera direlokasi. Gedung-gedung yang digunakan untuk menampung pengungsi adalah ruang bersama yang biasanya dipakai oleh warga untuk beraktivitas dan bekerja.
Warga Aceh juga mengaku "kapok" membantu pengungsi Rohingya karena mereka dianggap bersikap seenaknya dan tidak tertib pada aturan yang berlaku. Ada juga laporan tentang tindakan kurang menyenangkan dari para pengungsi dan upaya kabur dari lokasi penampungan.
Simpati Rohingya terhadap Masyarakat Myanmar saat Kudeta
Terlepas dari nasib mereka yang memprihatinkan, etnis Rohingya menunjukkan simpati terhadap masyarakat Myanmar saat kudeta militer pada tahun 2021. Ketika pemerintahan demokratis Myanmar dikudeta oleh pihak militer, Rohingya ikut menyuarakan keadilan untuk Myanmar.
Dunia sempat menyoroti kekerasan yang dilakukan pihak militer terhadap warga sipil yang berdemo, hingga menelan korban jiwa dan menimbulkan kekacauan di Myanmar. Di tengah situasi tersebut, etnis Rohingya menunjukkan keberpihakannya pada masyarakat Myanmar dan kubu pro-demokrasi.
Sikap ini menyadarkan warga Myanmar bahwa musuh mereka sebenarnya sama dengan Rohingya, yaitu junta militer. Belakangan, masyarakat Myanmar mulai menumbuhkan lebih banyak simpati dan empati terhadap pengungsi Rohingya.
Bahkan ketika terjadi kebakaran di kamp pengungsian Rohingya di Cox's Bazar, Bangladesh, yang menyebabkan sekitar 45.000 orang kehilangan tempat tinggal dan 15 orang meninggal, para pengungsi tetap menyuarakan dukungan terhadap Myanmar dalam melawan junta militer. Mereka menulis bahwa mereka berani bertarung untuk memperjuangkan negara yang mereka cita-citakan, yaitu negara yang menerima Rohingya di dalamnya.
Kesimpulan: Masalah Kompleks Tanpa Solusi Jelas
Krisis Rohingya adalah masalah yang sangat kompleks dengan akar sejarah, etnis, dan politik yang dalam. Mereka terusir dari tanah air mereka sendiri dan menghadapi penolakan di negara-negara yang mereka tuju untuk mencari suaka.
Sementara itu, negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, menghadapi dilema dalam menangani pengungsi Rohingya. Di satu sisi, ada keinginan untuk membantu atas dasar kemanusiaan, tetapi di sisi lain, ada keterbatasan sumber daya dan kekhawatiran akan dampak sosial dan keamanan.
Solusi jangka panjang untuk krisis Rohingya membutuhkan kerjasama internasional yang lebih kuat, tekanan diplomatik terhadap junta militer Myanmar, dan reformasi kebijakan kewarganegaraan di Myanmar yang mengakui hak-hak Rohingya sebagai warga negara.
Bagaimana menurutmu tentang krisis Rohingya ini? Apakah Indonesia sebaiknya menerima atau menolak pengungsi Rohingya? Bagikan pendapatmu di kolom komentar di bawah.
Artikel ini ditulis berdasarkan informasi dari berbagai sumber dan disajikan untuk tujuan edukasi. Untuk informasi lebih lanjut tentang krisis kemanusiaan global, kunjungi UNHCR Indonesia atau Human Rights Watch.