Pakaian Bekas Impor: Bagaimana Mitumba Merusak Ekonomi dan Lingkungan Kenya
Setiap tahun, sekitar 100 miliar pakaian diproduksi di seluruh dunia, dan sebagian besar berakhir di tempat sampah dalam waktu kurang dari 12 bulan. Di Amerika Serikat saja, rata-rata orang membuang sekitar 37 kg pakaian setiap tahun. Alih-alih mengelola limbah tekstil yang mahal, negara-negara maju memilih jalan yang lebih "ekonomis": mengekspor pakaian bekas tersebut ke negara berkembang, termasuk Kenya.
Perdagangan pakaian bekas impor atau yang dikenal sebagai "mitumba" di Kenya telah berlangsung sejak tahun 1980-an. Awalnya dipandang sebagai solusi murah yang memberikan akses pakaian bermerek bagi masyarakat kurang mampu, namun pada kenyataannya, praktik ini menimbulkan dampak devastasi pada ekonomi, lingkungan, dan kesehatan masyarakat Kenya.
Mitumba: Di Balik Narasi "Bantuan" untuk Kenya
Kedok Amal yang Menyesatkan
Pengiriman pakaian bekas ke Kenya sering dipromosikan sebagai bentuk amal. Masyarakat di negara maju merasa telah melakukan kebaikan dengan menyumbangkan pakaian yang tidak lagi mereka butuhkan. Perusahaan-perusahaan juga kerap mengemas ekspor pakaian bekas ini sebagai bagian dari inisiatif daur ulang yang ramah lingkungan.
Namun kenyataannya sangat bertolak belakang. Menurut laporan Oxfam, Kenya mengimpor lebih dari 185.000 ton pakaian bekas setiap tahun dengan nilai mencapai 16 juta dolar pada tahun 2020. Dari jumlah tersebut, diperkirakan 30-40% tidak dapat dijual karena kualitasnya yang buruk atau sudah rusak.
Volume dan Nilai Impor yang Mengejutkan
Kenya menjadi salah satu negara terbesar di Afrika yang menerima pakaian bekas dari Eropa, Amerika Serikat, dan Asia. Volume yang sangat besar ini tidak hanya menjadi beban bagi sistem pengelolaan limbah yang terbatas, tetapi juga menciptakan ketergantungan ekonomi yang berbahaya.
Dampak Ekonomi Mitumba di Kenya
Kehancuran Industri Tekstil Lokal
Salah satu dampak paling signifikan dari impor pakaian bekas adalah kerusakan industri tekstil dan garmen lokal Kenya. Pada tahun 1980-an, sektor tekstil Kenya menyediakan pekerjaan bagi lebih dari 500.000 orang secara langsung maupun tidak langsung.
Namun, dengan masuknya pakaian bekas yang dijual dengan harga jauh lebih murah, industri lokal tidak mampu bersaing. Akibatnya, banyak pabrik tekstil yang terpaksa tutup, termasuk pabrik tekstil Rivatex dan Kicomi yang dulunya menjadi tulang punggung produksi tekstil di Kenya.
Pengangguran dan Ketergantungan Ekonomi
Pada tahun 2000-an, jumlah pekerja di sektor tekstil Kenya menurun drastis menjadi sekitar 20.000 orang saja. Penghancuran industri tekstil lokal ini berdampak besar pada tingkat pengangguran. Ratusan ribu pekerja kehilangan mata pencaharian, dan dampaknya tidak hanya dirasakan oleh pekerja pabrik, tetapi juga oleh petani kapas yang sebelumnya mendukung industri tekstil domestik.
Laporan dari African Cotton and Textile Industries Foundation menunjukkan bahwa petani kapas di Kenya, Uganda, dan Tanzania secara langsung terdampak oleh anjloknya permintaan kapas akibat banjir pakaian bekas.
Penghindaran Pajak dan Kerugian Negara
Praktik perdagangan pakaian bekas juga diwarnai oleh berbagai pelanggaran. Beberapa importir terlibat dalam penghindaran bea cukai dengan menyembunyikan jenis dan jumlah pakaian yang diimpor. Pakaian yang seharusnya dikenakan bea masuk sering diselundupkan atau dilaporkan dengan harga yang jauh lebih rendah dari nilai pasar sebenarnya.
Menurut laporan Oxfam, praktik penghindaran pajak ini telah merugikan Kenya hingga miliaran shilling setiap tahun, mengurangi potensi pendapatan negara yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan.
Dampak Lingkungan dan Kesehatan
Krisis Limbah Tekstil
Dampak lingkungan dari pakaian bekas impor di Kenya sangat memprihatinkan. Pakaian-pakaian yang tidak terjual menjadi sampah yang menumpuk di tempat pembuangan. Sebagian besar pakaian modern terbuat dari bahan sintetis seperti poliester dan nilon yang membutuhkan waktu ratusan tahun untuk terurai.
Di kawasan Dandora, salah satu tempat pembuangan sampah terbesar di Nairobi, tekstil bekas menjadi salah satu jenis sampah yang paling banyak ditemukan, bersama dengan plastik. Banyak dari pakaian ini juga berakhir di lautan atau sungai, memperburuk krisis pencemaran air di Kenya.
Pencemaran Air dan Udara
Sungai Nairobi yang membelah pusat ibukota tercemar oleh limbah tekstil dan plastik, yang tidak hanya merusak ekosistem air tetapi juga berdampak buruk pada kehidupan liar dan kesehatan masyarakat yang tinggal di sepanjang bantaran sungai.
Ketika pakaian yang tidak terjual menumpuk, seringkali solusi cepat yang diambil adalah membakarnya. Pembakaran ini menyebabkan pelepasan zat kimia berbahaya seperti dioksin dan zat beracun lainnya yang berdampak buruk pada kualitas udara dan kesehatan masyarakat. Beberapa bahan kimia ini diketahui bersifat karsinogenik, meningkatkan risiko kanker serta gangguan pernapasan bagi mereka yang terpapar.
Risiko Kesehatan dari Pakaian Tidak Higienis
Masalah kesehatan lain timbul dari kualitas pakaian bekas itu sendiri. Banyak pakaian bekas yang masuk ke Kenya tidak dibersihkan atau diproses dengan benar, sehingga sering membawa bakteri, jamur, atau bahkan parasit. Kondisi ini menciptakan potensi penyebaran penyakit kulit dan infeksi.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit menyebutkan bahwa pengolahan pakaian bekas yang tidak benar dapat menjadi jalur penyebaran penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen.
Dampak Sosial dan Budaya
Erosi Budaya Berpakaian Tradisional
Selain dampak ekonomi dan lingkungan, banjir pakaian bekas di Kenya juga memiliki dampak sosial dan budaya yang luas. Ketergantungan pada mitumba telah mengikis budaya berpakaian tradisional di Kenya.
Generasi muda Kenya kini lebih cenderung mengenakan pakaian bekas dari Barat daripada pakaian tradisional yang dibuat oleh pengrajin lokal. Hal ini tidak hanya mencerminkan hilangnya kebanggaan terhadap produk lokal, tetapi juga menunjukkan dominasi budaya Barat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kenya.
Upaya Regulasi yang Gagal
Menyadari berbagai persoalan yang ditimbulkan oleh mitumba, pemerintah Kenya telah mencoba mengatur impor pakaian bekas dengan berbagai cara. Pada tahun 2019, Kenya berusaha membatasi impor mitumba sebagai bagian dari upaya untuk menghidupkan kembali industri tekstil lokal.
Namun, keputusan ini mendapat tantangan keras dari pedagang mitumba serta kelompok-kelompok ekonomi informal yang bergantung pada perdagangan ini. Menghadapi tekanan ekonomi dan politik, regulasi tersebut gagal diterapkan secara efektif.
Menuju Solusi Berkelanjutan
Revitalisasi Industri Tekstil Lokal
Salah satu langkah penting untuk mengatasi masalah mitumba adalah dengan merevitalisasi industri tekstil lokal Kenya. Dengan dukungan pemerintah berupa insentif pajak, subsidi, dan pelatihan, industri tekstil lokal dapat mulai bangkit kembali dan menciptakan lapangan kerja yang berkelanjutan.
Selain itu, kolaborasi antara produsen tekstil lokal dengan desainer Kenya dapat menciptakan produk fashion yang unik dan berkualitas, menawarkan alternatif yang lebih berkelanjutan dibandingkan pakaian bekas impor.
Pengelolaan Limbah Tekstil yang Lebih Baik
Untuk mengatasi dampak lingkungan, Kenya perlu mengembangkan sistem pengelolaan limbah tekstil yang lebih baik. Ini termasuk fasilitas daur ulang yang dapat mengubah pakaian bekas menjadi produk bernilai tambah seperti karpet, isolasi bangunan, atau bahkan benang untuk produksi tekstil baru.
Edukasi Konsumen dan Perubahan Perilaku
Tidak kalah penting adalah edukasi konsumen tentang dampak negatif dari konsumsi pakaian bekas impor. Kampanye kesadaran publik dapat mendorong masyarakat Kenya untuk lebih mendukung produk tekstil lokal dan mengurangi ketergantungan pada mitumba.
Kesimpulan
Perdagangan pakaian bekas impor atau mitumba di Kenya merupakan contoh nyata dari ketidakadilan ekonomi dan lingkungan global. Di balik narasi bantuan dan amal, terdapat eksploitasi sistematis yang merugikan ekonomi lokal, merusak lingkungan, dan mengancam kesehatan masyarakat Kenya.
Untuk menciptakan perubahan positif, diperlukan tindakan kolektif dari berbagai pemangku kepentingan—pemerintah, industri, dan masyarakat. Hanya dengan kesadaran dan komitmen bersama, Kenya dapat membebaskan diri dari ketergantungan pada pakaian bekas impor dan membangun industri tekstil yang mandiri, berkelanjutan, dan membanggakan.
Bagaimana pendapat Anda tentang praktik impor pakaian bekas ke negara berkembang? Apakah Anda berpikir konsumen dari negara maju memiliki tanggung jawab dalam mengurangi dampak negatif dari fast fashion? Bagikan pendapat Anda di kolom komentar di bawah!
Tertarik untuk membantu mengatasi masalah ini? Mulailah dengan menjadi konsumen yang lebih sadar akan dampak dari kebiasaan berbelanja Anda. Jangan lupa untuk membagikan artikel ini ke media sosial Anda untuk meningkatkan kesadaran tentang dampak pakaian bekas impor!