Sejarah Pemilu di Indonesia: Perjalanan Demokrasi dari Era Kemerdekaan hingga Reformasi
Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia memiliki sejarah panjang dan dinamis yang mencerminkan perjalanan bangsa dalam membangun sistem demokrasi. Dari kemerdekaan pada 1945 hingga era reformasi, Indonesia telah mengalami berbagai perubahan sistem politik yang signifikan. Artikel ini akan mengupas tuntas perjalanan pemilu di Indonesia, dari era kepemimpinan Soekarno, Soeharto, hingga era reformasi yang membawa perubahan fundamental dalam sistem pemilihan pemimpin negara.
Awal Demokrasi Indonesia: Era Pasca Kemerdekaan
Proklamasi dan Pembentukan Pemerintahan Pertama
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) secara aklamasi memilih Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia pertama. Pemilihan ini mencerminkan konsep demokrasi ala Indonesia yang mengedepankan musyawarah untuk mufakat.
Soekarno dan Hatta berencana menyelenggarakan pemilu pada awal 1946, namun kondisi politik dan keamanan yang belum stabil menyebabkan pemilu tidak dapat terselenggara sesuai rencana. Indonesia yang baru merdeka dihadapkan pada berbagai tantangan, termasuk agresi militer Belanda yang masih berupaya menguasai kembali bekas jajahannya.
Maklumat X dan Dinamika Politik Awal
Salah satu tonggak penting dalam sejarah politik Indonesia adalah terbitnya Maklumat X pada November 1945 oleh Mohammad Hatta. Maklumat ini merupakan respon terhadap rencana Soekarno untuk menerapkan sistem partai tunggal (PNI). Melalui maklumat ini, Indonesia memilih untuk menerapkan sistem multipartai, menunjukkan komitmen awal terhadap pluralisme politik meski dalam kondisi yang masih sangat baru sebagai negara merdeka.
Pemilu Pertama 1955: Tonggak Demokrasi Liberal
Persiapan dan Pelaksanaan
Setelah berbagai pergolakan politik, termasuk peristiwa yang dikenal sebagai "Peristiwa 17 Oktober 1952" dimana Angkatan Bersenjata mengarahkan meriam ke Istana Negara menuntut pembubaran parlemen dan pelaksanaan pemilu, akhirnya pemilu pertama Indonesia dapat diselenggarakan pada tahun 1955.
Pemilu 1955 digelar dua kali: pertama untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan kedua untuk memilih anggota Badan Konstituante yang bertugas menyusun undang-undang dasar baru menggantikan UUDS 1950.
Partisipasi dan Hasil
Pemilu 1955 diikuti oleh sekitar 172 peserta, baik dari partai politik, perkumpulan, hingga perseorangan, yang mewakili beragam ideologi seperti marksisme, sosialisme, nasionalisme, agama, hingga kepercayaan lokal. Partisipasi masyarakat sangat tinggi karena pemilu ini dianggap merepresentasikan keberagaman Indonesia.
Hasil pemilu menunjukkan empat partai besar memperoleh suara terbanyak: PNI (Partai Nasional Indonesia) yang didirikan Soekarno, Masyumi, NU, dan PKI (Partai Komunis Indonesia). Pemilu ini direncanakan akan digelar kembali pada 1964, namun situasi politik yang memanas mencegah penyelenggaraan pemilu berikutnya.
Era Demokrasi Terpimpin: Perubahan Arah Politik
Pembubaran Konstituante dan Dekrit Presiden
Karena Badan Konstituante tidak kunjung menyelesaikan undang-undang dasar baru, pada 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden untuk membubarkan Badan Konstituante dan menetapkan kembali UUD 1945. Pada masa inilah dimulai era yang dikenal sebagai Demokrasi Terpimpin.
Penyederhanaan Partai Politik
Pada 1961, Soekarno melakukan penyederhanaan partai politik dengan tujuan untuk menyederhanakan ideologi dalam tatanan pemerintahan. Langkah ini sejalan dengan keinginan Soekarno untuk menerapkan konsep partai tunggal, yang kemudian terwujud dalam bentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
Peran PKI dan Dinamika Politik
Pada masa ini, PKI muncul sebagai kekuatan politik yang signifikan. Partai ini dinilai mampu membawa perubahan bagi masyarakat kecil dan aktif sebagai wadah penampung aspirasi masyarakat. Kepercayaan masyarakat terhadap PKI telah dibuktikan dengan perolehan suara signifikan pada Pemilu 1955.
Gestapu dan Akhir Era Soekarno
Situasi politik memanas dengan munculnya peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Gerakan 30 September 1965 (G30S). Dalam penyelidikan selanjutnya, PKI dituding sebagai dalang peristiwa ini, yang menyebabkan partai ini kemudian dilarang di Indonesia.
Setahun kemudian, pada 7 Maret 1967, Soeharto resmi menggantikan Soekarno sebagai presiden Indonesia, mengakhiri era kepemimpinan Soekarno dan memulai babak baru yang dikenal sebagai Orde Baru.
Era Orde Baru: Pemilu di Bawah Bayang-bayang Kekuasaan
Pemilu 1971 dan Dominasi Golkar
Pada 1971, pemilu kedua Indonesia diselenggarakan dengan Golkar (yang sebelumnya adalah Sekber Golkar) menjadi kendaraan politik Soeharto. Dengan dukungan penuh dari pemerintah dan aparatur negara, Golkar memperoleh hampir 63% suara, mengungguli partai-partai lain dengan selisih yang sangat signifikan.
Fusi Partai dan Pembatasan Politik
Pada 1975, pemerintah Orde Baru melakukan fusi partai yang menghasilkan dua partai dan satu golongan karya:
- PDI (Partai Demokrasi Indonesia) - peleburan partai dari kubu nasionalis dan non-muslim
- PPP (Partai Persatuan Pembangunan) - peleburan dari partai-partai Islam
- Golkar - bukan partai politik namun organisasi fungsional
Fusi ini mengingatkan pada upaya Soekarno untuk menyederhanakan partai politik pada awal tahun 1960-an, namun dengan tujuan yang berbeda.
Dwifungsi ABRI dan Kekuasaan Orde Baru
Selama era Orde Baru, militer memiliki peran ganda yang dikenal sebagai Dwifungsi ABRI, yakni sebagai kekuatan pertahanan dan juga kekuatan sosial-politik. Militer menduduki berbagai jabatan sipil mulai dari kepala desa, bupati, hingga gubernur, yang semakin mengokohkan kekuasaan Soeharto.
Menuju Reformasi: Keruntuhan Orde Baru
Krisis Ekonomi dan Tuntutan Reformasi
Setelah dilantik sebagai presiden untuk keenam kalinya pada 1997, Indonesia dilanda krisis ekonomi yang parah. Nilai rupiah melemah drastis dari Rp 2.000 hingga Rp 17.000 per dolar Amerika pada awal 1998.
Situasi ekonomi ini menjadi momentum bagi masyarakat untuk menuntut perubahan fundamental dalam sistem politik Indonesia. Tuntutan reformasi yang digaungkan meliputi:
- Pengadilan terhadap Soeharto dan kroni-kroninya
- Amandemen UUD 1945
- Penghapusan Dwifungsi ABRI
- Pelaksanaan otonomi daerah
- Penegakan supremasi hukum
- Penciptaan pemerintahan yang bersih dari KKN
Lengsernya Soeharto dan Era Baru
Pada 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden, yang secara resmi menandai berakhirnya era Orde Baru dan dimulainya era Reformasi. B.J. Habibie, yang saat itu menjabat sebagai wakil presiden, dilantik sebagai presiden menggantikan Soeharto.
Era Reformasi: Pemilu Demokratis
Pemilu 1999: Kembalinya Multipartai
Pemilu 1999 menjadi pemilu pertama di era Reformasi dengan 48 partai politik sebagai peserta. Sistem multipartai kembali diterapkan, dan Golkar resmi menyebut dirinya sebagai partai politik dengan nama Partai Golongan Karya.
Pasca pemilu, MPR memilih presiden dan wakil presiden melalui mekanisme voting, bukan aklamasi atau musyawarah seperti pada era Soeharto. Hasilnya, Abdurrahman Wahid terpilih sebagai presiden dengan Megawati Soekarnoputri sebagai wakilnya.
Pemilu 2004: Pemilihan Presiden Langsung
Pemilu 2004 menandai tonggak baru dalam demokrasi Indonesia dengan diadakannya pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Aturan baru menetapkan bahwa partai atau gabungan partai yang mengusung capres-cawapres harus memenuhi ambang batas (presidential threshold).
Untuk Pemilu 2004, ambang batas ini dikecualikan, sehingga partai atau gabungan partai bisa mengusung capres-cawapres jika memperoleh 5% suara nasional atau 3% perolehan kursi di DPR. Hasilnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih sebagai presiden setelah memenangi putaran kedua dengan perolehan lebih dari 60% suara.
Perubahan Ambang Batas Pencalonan Presiden
Pada Pemilu 2009, aturan ambang batas pencalonan presiden diubah menjadi 25% suara nasional atau 20% perolehan kursi di DPR pada pemilu sebelumnya. Perubahan ini menyebabkan tidak ada satu partai pun yang bisa mengusung capres-cawapres sendiri, sehingga partai-partai harus berkoalisi.
Perubahan ini menimbulkan kontroversi karena dinilai menguntungkan incumbent dan membatasi kesempatan calon lain. Meski demikian, SBY kembali terpilih sebagai presiden untuk periode kedua dengan perolehan lebih dari 50% suara.
Dinamika Politik Kontemporer
Gugatan terhadap Ambang Batas Pencalonan
Aturan ambang batas pencalonan presiden yang dinilai menghalangi kepesertaan pemilu digugat ke Mahkamah Konstitusi. Sejumlah pihak, termasuk Airlangga Julhar, mengajukan gugatan dengan alasan bahwa dalam pembahasan maksud asli UUD 1945, tidak pernah ada pembatasan presidential threshold dalam bentuk apapun.
Namun, semua gugatan tersebut ditolak oleh MK. Alasannya, penggugat tidak memiliki legal standing atau tidak memenuhi syarat sebagai penggugat.
Perubahan Koalisi Politik
Dengan adanya aturan ambang batas pencalonan presiden, partai-partai politik harus berkoalisi untuk dapat mengusungkan calon presiden dan wakil presiden. Hal ini menyebabkan perubahan anggota koalisi menjadi hal yang wajar dalam politik Indonesia kontemporer.
Partai-partai seperti PDIP, Gerindra, dan Golkar telah berganti-ganti posisi dalam koalisi pada setiap pemilu. Misalnya, Gerindra yang awalnya berkoalisi dengan PDIP melawan Demokrat, justru menjadi lawan PDIP pada pemilu berikutnya.
Pelajaran dari Sejarah Pemilu Indonesia
Pentingnya Kebangsawanan Pikiran
Sejarah pemilu Indonesia menunjukkan bahwa kebangsawanan pikiran lebih penting daripada kebangsawanan turunan. Tokoh-tokoh seperti Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sutomo, Cipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara adalah contoh figur yang "bunuh diri kelas" dengan melepaskan diri dari warisan feodal dan mengedepankan pemikiran republikan.
Korupsi dan Dampaknya pada Demokrasi
Korupsi telah menjadi masalah persisten dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Berbagai kasus korupsi, termasuk korupsi bantuan sosial saat pandemi, menunjukkan pentingnya pengawasan dan partisipasi masyarakat dalam proses demokratisasi.
Kesimpulan
Perjalanan pemilu di Indonesia mencerminkan dinamika politik bangsa yang kompleks dan terus berkembang. Dari musyawarah mufakat pada awal kemerdekaan, sistem partai tunggal era Demokrasi Terpimpin, pemilu yang terkontrol ketat pada masa Orde Baru, hingga pemilihan langsung di era Reformasi – setiap fase memiliki karakteristik dan tantangan tersendiri.
Pemahaman terhadap sejarah pemilu Indonesia tidak hanya penting untuk mengetahui perjalanan demokrasi bangsa, tetapi juga untuk memetik pelajaran berharga dalam upaya menyempurnakan sistem demokrasi di masa depan. Sebagai warga negara, kita perlu terus berpartisipasi aktif dan kritis dalam proses demokrasi untuk memastikan bahwa pemilu benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat dan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Bagaimana pendapat Anda tentang perjalanan demokrasi Indonesia? Apakah sistem pemilu saat ini sudah ideal atau masih perlu perbaikan? Bagikan pemikiran Anda di kolom komentar!