Soeharto: Kisah Kontroversial Presiden Kedua Indonesia di Balik 32 Tahun Kepemimpinan


Nama Soeharto merupakan sosok yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah Indonesia. Sebagai presiden kedua yang memimpin selama 32 tahun, sosoknya kerap mengundang perdebatan panjang. Di satu sisi, ia dipuji sebagai arsitek pembangunan yang membawa Indonesia menuju era kemakmuran dan swasembada pangan. Di sisi lain, ia dikritik sebagai diktator militer yang menindas rakyatnya melalui berbagai kebijakan otoriter.



Survei Indo Barometer yang dikutip oleh majalah Tempo menunjukkan fakta mengejutkan. Meski banyak yang menilai Soeharto telah menyebabkan keterpurukan dan pelanggaran HAM, namun 32,9% responden masih menyatakan bahwa ia adalah presiden paling berhasil dalam memimpin dan membangun Indonesia. Bagaimana sebenarnya sosok Soeharto? Mari kita telusuri perjalanan hidupnya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih utuh.

Masa Kecil dan Latar Belakang Keluarga

Kelahiran dan Asal-usul yang Diperdebatkan

Soeharto lahir pada tanggal 8 Juni 1921 di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Ia dilahirkan saat Indonesia masih berada di bawah penjajahan Belanda. Ibunya, Sukirah, memberinya nama Muhammad Soeharto.

Kehidupan keluarga Soeharto penuh dengan masalah dan kontroversi. Dalam autobiografinya, ia menggambarkan ibunya sebagai sosok yang sibuk memikirkan kesulitan rumah tangga. Namun, catatan sejarah menyebutkan bahwa Sukirah mengalami masalah mental yang serius. Bahkan sebelum Soeharto berusia 40 hari, ibunya telah ditalak (diceraikan) oleh Kerto Sudiro, ayahnya yang bekerja sebagai Mantri Ulu-ulu (pengatur irigasi).

Ada rumor yang berkembang bahwa Kerto Sudiro bukanlah ayah kandung Soeharto. Rumor ini bahkan diyakini oleh beberapa pengamat dan orang terdekatnya, seperti mantan Menteri Penerangan Mashuri. Kontroversi tentang asal-usulnya semakin meningkat ketika pada tahun 1974 muncul artikel berjudul "Teka-teki Sekitar Garis Silsilah Soeharto" dari majalah Pop, yang menyatakan bahwa Soeharto adalah anak dari Pamo Dipuro, seorang bangsawan dari garis keturunan Hamengkubuwono II.

Soeharto dengan tegas membantah rumor tersebut dan bahkan mengadakan konferensi pers untuk menyatakan bahwa berita tersebut berpotensi menjadi alat untuk tindakan subversif. Hingga kini, asal-usul Soeharto masih menjadi misteri yang belum terpecahkan.

Pendidikan dan Pembentukan Karakter

Meski tumbuh dalam keluarga yang kurang menguntungkan, Soeharto tidak menjalani kehidupan seperti anak desa pada umumnya. Alih-alih harus bekerja di sawah sejak usia dini, Kerto Sudiro memilih untuk menyekolahkannya di Sekolah Rakyat (setingkat dengan SD).

Masa sekolah Soeharto tidaklah menyenangkan. Ia sering menjadi korban perundungan dari teman-temannya, dengan ejekan seperti "Den Bagus Tahi Mabul" (Den Bagus yang artinya tuan muda bangsawan, dan "tahi mabul" yang berarti tahi kering). Pengalaman ini membentuk karakter Soeharto menjadi pendiam dan tertutup.

Kehidupan Soeharto berubah ketika ia pindah untuk tinggal bersama pamannya, Prawiro Wiharjo, seorang Mantri Tani. Di sana, Soeharto merasa diterima dalam keluarga yang hangat. Pamannya memperlakukannya seperti putra sendiri dan memperkenalkannya sebagai putra tertua dalam keluarga. Selama tinggal dengan pamannya, Soeharto menjadi sangat tekun dalam pelajaran, terutama berhitung. Ia juga rajin mengaji dan aktif di kepanduan Hizbul Wathan, organisasi otonom di lingkungan Muhammadiyah.

Setelah tamat Sekolah Dasar, Soeharto melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Pertama Muhammadiyah di Yogyakarta. Sayangnya, setelah lulus SMP pada tahun 1938, ia tidak bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi karena kondisi ekonomi keluarganya tidak memadai.

Karir Militer dan Awal Keterlibatan Politik

Dari KNIL hingga Peta: Fondasi Karir Militer

Setelah beberapa tahun menganggur dan bekerja serabutan, Soeharto akhirnya diterima sebagai anggota KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) atau tentara kolonial Belanda pada tahun 1940. Ia mengikuti pendidikan di sekolah Bintara di Gombong dan berhasil menjadi lulusan terbaik dengan pangkat Kopral.

Karir militernya di KNIL sangat singkat. Tepat seminggu setelah ia ditugaskan ke Bandung sebagai tentara cadangan dengan pangkat Sersan, Belanda menyerah kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942 dan KNIL pun dibubarkan.

Selama pendudukan Jepang, Soeharto sempat bekerja sebagai polisi Jepang (Keibodan) sebelum akhirnya bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air), pasukan militer yang dibentuk oleh Jepang. Di PETA, ia diangkat menjadi Kundancho (Komandan Kompi) dan mendapat pendidikan militer lanjutan di Bogor.

Peran dalam Kemerdekaan dan Awal Era Soekarno

Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Soeharto resmi diangkat menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945. Awalnya ia masuk dengan pangkat Letnan, namun kinerjanya di PETA membuat Soeharto dengan cepat ditunjuk sebagai Komandan Batalyon dengan pangkat Mayor. Pangkatnya pun cepat naik menjadi Komandan Resimen yang berpangkat Letnan Kolonel pada tahun 1946.

Soeharto tercatat memimpin Brigade Garuda Mataram dalam operasi penumpasan pemberontakan Andi Aziz di Sulawesi. Ia juga berperan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 yang berhasil menduduki kota Yogyakarta selama enam jam, membuktikan bahwa Republik Indonesia masih eksis.

Karir militer Soeharto sempat tercoreng ketika pada tanggal 17 Oktober 1959, ia dipecat oleh Jenderal A.H. Nasution sebagai Pangdam Diponegoro karena menggunakan institusi militer yang dipimpinnya untuk meminta uang dari perusahaan-perusahaan di Jawa Tengah. Kasus ini hampir dibawa ke Pengadilan Militer oleh Kolonel Ahmad Yani, namun atas saran Jenderal Gatot Subroto, Soeharto dibebaskan dan dipindahkan ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung.

Peristiwa G30S dan Awal Kekuasaan

Momen Krusial: G30S/PKI dan Supersemar

Peristiwa paling krusial dalam perjalanan politik Soeharto adalah Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI). Pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, beberapa pasukan pengawal kepresidenan Cakrabirawa di bawah komando Letnan Kolonel Untung Syamsuri menculik dan membunuh enam jenderal tinggi. Menariknya, Soeharto yang saat itu berpangkat Mayor Jenderal tidak dijadikan target dalam percobaan kudeta tersebut.

Menurut versi resmi sejarah pada masa Orde Baru, Soeharto yang turun menangani situasi karena tidak ada kabar dari Letnan Jenderal Ahmad Yani. Tindakan ini diperkuat dengan turunnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) pada tanggal 11 Maret 1966 dari Presiden Soekarno, yang memberikan kewenangan dan mandat pada Soeharto untuk mengambil segala tindakan demi memulihkan keamanan dan ketertiban.

Keputusan yang diambil Soeharto saat itu adalah membubarkan PKI dan menetapkannya sebagai partai terlarang di Indonesia. Selanjutnya, ia menangkap menteri-menteri yang diduga terlibat G30S/PKI. Langkah ini dinilai oleh pengamat internasional sebagai cara Soeharto untuk menyingkirkan orang-orang yang pro-Soekarno dan pro-komunis.

Tindakan pembersihan yang dilakukan pada puncaknya menyebabkan pembunuhan sistematis terhadap sekitar 500.000 tersangka komunis atau bahkan lebih, yang tidak diadili tetapi langsung dihukum. Selama rentang waktu tersebut, juga terjadi kekerasan terhadap minoritas Tionghoa di Indonesia.

Pengambilalihan Kekuasaan dari Soekarno

Situasi politik masih memburuk pasca peristiwa G30S/PKI. Melalui Sidang Istimewa MPRS pada Maret 1967, Soeharto yang sudah naik pangkat menjadi Jenderal bintang empat ditunjuk menjadi Pejabat Presiden berdasarkan TAP MPRS Nomor 33 tahun 1967 yang diresmikan pada tanggal 22 Februari 1967.

Soeharto menerima penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno, dan melalui Sidang Istimewa MPRS berikutnya pada tanggal 7 Maret 1967, ia ditunjuk sebagai Pejabat Presiden sampai terpilihnya presiden baru dari hasil pemilihan umum.

Dengan jabatan tersebut, Soeharto secara bertahap mengkonsolidasikan kekuasaannya dan membatasi peran Presiden Soekarno. Konsolidasi yang dilakukan Soeharto membuatnya berhasil mengontrol partai politik dan memastikan kemenangannya dalam pemilihan presiden. Ia resmi naik ke tampuk kekuasaan sebagai presiden sekaligus merangkap sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan sesuai Sidang Umum MPRS pada tanggal 27 Maret 1968.

Era Orde Baru: Kebijakan dan Dampaknya

Pembangunan Ekonomi dan Swasembada Pangan

Soeharto naik ke tampuk kekuasaan dalam situasi Indonesia yang sedang mengalami krisis ekonomi dan politik. Selama memegang jabatan, ia didukung oleh Amerika Serikat sehingga bisa menstabilkan kondisi negara, menekan inflasi, dan menarik investasi asing.

Pada tanggal 15 Juni 1968, Presiden Soeharto membentuk Tim Ahli Ekonomi Presiden dengan mengangkat para teknokrat berlatar belakang pendidikan Barat dan berpandangan liberal, terutama dari Universitas Berkeley, yang kemudian dikenal sebagai "Mafia Berkeley".

Kebijakan ekonomi yang diterapkan Soeharto berorientasi pada pertumbuhan, yang menyebabkan masa kepemimpinannya disebut sebagai "Orde Baru". Indonesia dibawa menuju swasembada pangan dan mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Swasembada beras pada tahun 1984 menjadi salah satu pencapaian ekonomi yang membanggakan. Indonesia bahkan sempat digolongkan sebagai negara yang hampir mencapai status Negara Industri Baru.

Namun, model pertumbuhan ekonomi yang terlalu bergantung pada investasi asing dan eksploitasi sumber daya alam juga menimbulkan sejumlah masalah. Ketimpangan ekonomi, sosial, dan politik semakin mencolok. Ketergantungan pada bantuan asing pun semakin meningkat, terutama setelah IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) dibubarkan dan krisis ekonomi melanda Asia di akhir 1990-an.

Kebijakan Politik Otoriter

Meskipun berhasil membangun ekonomi, kebijakan politik Soeharto sangat otoriter. Ia membangun konsep "Dwifungsi ABRI" yang menyebabkan Angkatan Bersenjata punya kendali politik. Selain itu, Soeharto melakukan penyederhanaan sistem partai politik dengan hanya membiarkan tiga partai besar yaitu Golkar, PPP, dan PDI.

Langkahnya dalam menggabungkan partai-partai politik membuat kekuatannya menjadi sangat terpusat pada dirinya. Tidak heran jika dengan strategi pemusatan ini, ia kembali terpilih menjadi presiden untuk beberapa periode.

Soeharto juga dikenal anti-kritik. Beberapa bulan setelah peristiwa Malari di tahun 1974, ia membredel 12 surat kabar dan menangkap ratusan rakyat Indonesia, termasuk mahasiswa, untuk dipenjarakan. Tindakan pembredelan surat kabar terus berulang, seperti pada tanggal 20 Januari 1978 ketika tujuh surat kabar dibredel kembali.

Untuk membungkam pers, Soeharto melahirkan UU Pokok Pers Nomor 12 tahun 1982 yang mengisyaratkan adanya peringatan mengenai isi pemberitaan atau siaran. Di tahun yang sama, untuk menekan dan membatasi gerakan mahasiswa, ia memberlakukan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK).

Pelanggaran HAM dan Kontroversi

Selama kepemimpinan Soeharto, ada banyak catatan pelanggaran HAM yang terjadi. Beberapa di antaranya adalah:

  1. Penumpasan PKI dan simpatisannya: Sekitar 500.000 tersangka komunis dibunuh tanpa proses pengadilan yang adil.
  2. Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa: Kebijakan yang melarang penggunaan bahasa dan budaya Tionghoa, serta tidak mengakui agama Konghucu.
  3. Peristiwa Tanjung Priok: Bentrokan antara aparat keamanan dan massa yang menewaskan puluhan orang.
  4. Peristiwa 27 Juli (Kudatuli): Kerusuhan di Jakarta sebagai akibat dari upaya Soeharto menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dari kepemimpinan PDI.
  5. Penembakan Trisakti: Empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas ditembak aparat pada 12 Mei 1998.
  6. Peristiwa di Timor Timur: Pembantaian terhadap penduduk sipil selama pendudukan Indonesia.

Selain itu, Soeharto juga dituduh melakukan korupsi besar-besaran. Menurut Transparansi Internasional, Soeharto telah menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah, dengan perkiraan 15 hingga 35 miliar dolar AS selama 32 tahun masa pemerintahannya.

Keruntuhan Orde Baru dan Akhir Kekuasaan

Krisis Moneter dan Gelombang Reformasi

Krisis ekonomi Asia pada tahun 1997 menjadi gelombang pukulan bagi rezim Orde Baru dan sangat berdampak pada kondisi Indonesia. Presiden Soeharto sempat meminta bantuan IMF dan Bank Dunia, tetapi hal ini justru menjadi bumerang baginya. Bank Dunia dan IMF menemukan bahwa 20-30% dana pengembangan Indonesia telah disalahgunakan selama bertahun-tahun.

Meskipun IMF akhirnya memberi pinjaman sebesar 43 miliar dolar AS, kondisi ekonomi semakin terpuruk, memicu tekanan yang lebih kuat dari masyarakat untuk melakukan reformasi, terutama dari kalangan mahasiswa.

Namun, di tengah protes besar-besaran, Soeharto kembali duduk di kursi kekuasaan untuk ketujuh kalinya setelah disahkan oleh MPR, dengan B.J. Habibie sebagai wakilnya. Menariknya, hanya tujuh hari setelah pelantikannya, Soeharto menyumbangkan seluruh gaji dan tunjangannya sebagai presiden dalam rangka menghadapi krisis moneter. Namun, tindakan ini tidak berhasil meredakan protes masyarakat.

Peristiwa Mei 1998 dan Pengunduran Diri

Demonstrasi mahasiswa semakin meluas, menuntut mundurnya Soeharto dari jabatan. Pada tanggal 1 Mei 1998, Soeharto menyatakan akan mempersiapkan reformasi pada tahun 2003, tetapi masyarakat menolak.

Ketika berada di Mesir untuk KTT pada 13 Mei 1998, Soeharto menyatakan bersedia mundur jika rakyat menghendaki dan tidak akan mempertahankan kedudukannya dengan kekuatan senjata. Seminggu kemudian, 11 menteri bidang ekonomi dan industri mengundurkan diri.

Puncak aksi mahasiswa terjadi pada tanggal 18 Mei 1998, ketika ribuan mahasiswa mendatangi Gedung MPR/DPR. Akhirnya, pada tanggal 21 Mei 1998, hanya berselang 70 hari dari pelantikannya sebagai presiden untuk ketujuh kalinya, Soeharto mengundurkan diri dan kekuasaannya dipindahkan kepada B.J. Habibie.

Pengunduran dirinya yang disiarkan secara langsung di televisi pada pukul 09.00 WIB menjadi momen bersejarah bagi Indonesia, menandai berakhirnya era Orde Baru yang telah berlangsung selama 32 tahun.

Pasca Lengser: Pengadilan dan Warisan Sejarah

Proses Hukum dan Kontroversi

Setelah lengser dari kekuasaan, Soeharto menghadapi tuntutan untuk bertanggung jawab atas dugaan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan selama masa pemerintahannya. Berbagai upaya dilakukan untuk mengusut harta kekayaannya yang diduga diperoleh dari hasil KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).

Jaksa Agung menyelidiki dugaan penggunaan dana yayasan secara tidak wajar dan kekayaan Soeharto di luar negeri. Majalah Time melaporkan bahwa Soeharto memiliki kekayaan hingga 15 miliar dolar AS. Soeharto sempat ditetapkan menjadi tahanan kota selama kasus korupsinya diusut.

Namun, proses hukum terpaksa dihentikan dengan alasan kondisi kesehatan Soeharto yang semakin menurun. Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan atas kasus dugaan korupsi yang dilakukan Soeharto.

Wafat dan Peninggalan Sejarah

Soeharto akhirnya wafat pada tanggal 27 Januari 2008 di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta Selatan pada pukul 13.10 WIB. Jenazahnya dimakamkan di Astana Giri Bangun, Karanganyar, sebuah kompleks pemakaman keluarga yang terletak di lereng Gunung Lawu, tepatnya di Desa Girilayu.

Meninggalnya Soeharto mengundang berbagai reaksi, ada yang berduka namun ada pula yang menganggap kematiannya menutup kesempatan untuk mengadilinya atas berbagai pelanggaran HAM dan korupsi yang terjadi selama kepemimpinannya.

Kesimpulan

Soeharto adalah sosok yang sangat kontroversial dalam sejarah Indonesia. Di satu sisi, ia dipuji karena berhasil membawa Indonesia menuju pertumbuhan ekonomi dan swasembada pangan. Di sisi lain, ia dikritik karena kebijakan otoriternya dan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi selama kepemimpinannya.

Perjalanan hidup Soeharto dari anak desa hingga menjadi presiden yang berkuasa selama 32 tahun merupakan bagian penting dari sejarah Indonesia. Meski telah berlalu lebih dari dua dekade sejak ia lengser, perdebatan tentang warisan Soeharto masih terus berlangsung hingga kini.

Sebagai rakyat Indonesia, penting bagi kita untuk belajar dari sejarah dan mengambil pelajaran dari masa lalu. Dengan memahami sejarah kepemimpinan Soeharto, kita dapat membangun Indonesia yang lebih baik di masa depan, dengan tetap menghormati nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan.

Bagaimana pendapat Anda tentang masa kepemimpinan Soeharto? Apakah ia lebih pantas disebut sebagai arsitek pembangunan atau diktator militer? Bagikan pemikiran Anda di kolom komentar di bawah!